Anak, selama sekolah dilatih untuk berwudhu yang baik, sholat dhuha atau sholat zuhur berjamaah, membaca iqro, mengaji, mencuci piring habis makan, membersihkan kelas dll.
Namun saat libur, ternyata orang tuanya membiarkan saja anak tidak dhuha, tidak sholat lima waktu, tidak membaca Al-Quran, tidak mencuci piring bekas makannya, dll.
Alasannya; masih anak-anak, ga papa.
Anak pun berpikir; "Oh ternyata ga papa ga sholat, ga mengaji, ga mencuci piring..."
Akhirnya, pembiasaan kebaikan yang telah dibangun di sekolah, dihancurkan di rumah, oleh orang tua.
Saat masuk sekolah lagi, maka bangunan kebaikan itu harus dibuat ulang lagi. Siap-siap dihancurkan lagi saat liburan berikutnya. Buang-buang waktu, tenaga dan SPP (^_^;).
Hal ini terjadi karena orang tua di rumah tidak mau repot sebagaimana para guru di sekolah.
Tidak mau repot membersamai anak sholat, tidak mau repot membersamai anak mengaji, tidak mau cuci piring bersama anak, dst.
Memang anaknya siapa sih? Kok gurunya lebih bersedia repot daripada ortunya?
Guru adalah orang tua di sekolah.
Orang tua adalah guru di rumah.
وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ
"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya sesudah dipintal dengan kuat sebelumnya...."
(QS. An-Nahl: 92)
===
Bogor, 24 Rabiul Tsani 1441
Komentar
Posting Komentar