Dalam membicarakan hadits yang bermasalah kali ini, setidaknya ada 2 hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, hadits yang akan disebutkan nanti bermasalah dari segi sanad, atau jalur periwayatan. Isinya bisa saja mengandung kebenaran, namun karena perawinya bermasalah, maka hadits tersebut tidak layak dialamatkan pada al-Musthofa Muhammad saw.
Karena, menisbatkan sesuatu atas nama Nabi saw, padahal bukan dari beliau, akan terkena ancaman yang sangat keras yaitu tempat duduk di neraka, na'udzu billah.
Sekali lagi, isinya bisa saja mengandung kebenaran.
Seperti jika disebutkan; "Sesungguhnya sholat itu akan menyehatkan raga". Isinya mungkin benar, bisa dibuktikan dengan teori kedokteran modern, dsb. Tapi, itu bukan hadits, maka haram hukumnya mengatakan itu dari Nabi saw.
Kedua, walaupun telah diketahui sebuah hadits populer ternyata merupakan hadits palsu, kita tidak bisa langsung menghakimi orang, atau ustadz di pengajian, yang kebetulan menyebutkan hadits tersebut, sebagai orang yang berdosa dll.
Karena, bisa jadi beliau memang belum tahu. Jadi, perlu berlapang dada terhadap kesalahan yang ada di masyarakat, dan mencari cara-cara yang baik dalam menyampaikan kebenaran.
Baiklah, kita akan mulai membahas hadits-haditsnya. Rujukan utama dalam pembahasan kali ini adalah:
- Hadis-Hadis Bermasalah, Prof. Ali Mustafa Ya'kub, Pustaka Firdaus
- Meneladani Shaum Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam, Pustaka Imam asy-Syafii
1. Permulaan bulan ramadhan itu rahmat, pertengahannya maghfirah, dan penghabisannya merupakan pembebasan dari api neraka.
Menurut Imam al-Suyuti hadits ini dhai'f, dan Syaikh al-Albani mengatakan hadits ini munkar. Pendapat ini tidak berlawanan karena hadits munkar adalah bagian hadits dha'if. Sumber kelemahan hadits ini ada pada 2 orang perawi yaitu, Sallam bin Sulaiman bin Sawwar yg disebut sebagai munkar al-hadits, dan Maslamah bin al-Shalt yg matruk (etimologi: ditinggalkan)(lihat al Jami' al Shaghir al-Suyuti, Silsilah al-Ahadits al-Dhai'fah wa al-Maudhu'ah. Nasiruddin al-Albani, Taisir Musthalah al-Hadits Dr. Mahmud Tahhan).
Hadits ini sendiri bertentangan dengan hadits shahih tentang Ramadhan yang mengatakan bahwa ada orang-orang yang dibebaskan dari api neraka di setiap malam Ramadhan.
Jadi pembebasan api neraka, bukan hanya di 10 malam terakhir, tapi di seluruh malam Ramadhan, masya Allah.
2. “Seandainya umatku mengetahui pahala ibadah bulan ramadhan, niscaya mereka menginginkan satu tahun penuh menjadi ramadhan”
Hadits ini merupakan penggalan dari hadits yg sangat panjang yg diriwayatkan oleh—antara lain—Imam Ibnu Khuzaimah dlm kitabnya Shahih Ibnu Khuzaimah, Imam Abu Ya'la, Imam Baihaqi dlm kitabnya Syu'ab al-Iman.
Walaupun hadits ini terdapat dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, namun bukan berarti Ibnu Khuzaimah meyakini dengan pasti keshahihan hadits tersebut.
Hal ini disebutkan sendiri oleh beliau dengan mengatakan ""ini adalah bab tentang fadhilah-fadhilah bulan ramadhan apabila hadits berikut shahih"
Prof. Mustafa Ali Ya'kub menyatakan bahwa, setelah ditelilti mendalam, hadits tersebut positif sebagai hadits palsu. Dikarenakan di setiap sanadnya terdapat Jarir bin Ayyub al-Bajali. Oleh para kritikus hadits ia dinilai sebagai pemalsu hadits, matruk, dan munkar (lihat Kitab al-Maudhu`at—Ibn al-Jauzi).
3. "Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan (pahalanya), doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni”.
Menurut Imam al-Suyuti hadits ini dhai'f. Namun perlu diingat bahwa di dalam hadits dhai'f juga terdapat hadits munkar, matruk dan maudhu'.
Dalam hadits ini, terdapat Ma'ruf bin Hisan(dhai'f), Sulaiman bin Amr al-Nakhai (lebih dhai'f daripada Ma'ruf, bahkan pendusta), Abd al-Malik bin Umair (sangat dha'if) (lihat Faidh al-Qadir—Muhammad 'Abd al-Rauf al-Minawi, Kitab al-Majruhin min al-Muhadditsin—Ibnu Hibban).
Berdasarkan data-data ini, maka hadits di atas dihukumi sebagai hadits palsu.
Meskipun palsu, makna yang terkandungnya tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena memang seorang yang berpuasa itu akan berpahala meskipun dia tidak melakukan apapun. Tapi tidak boleh mengatakan kalimat tersebut di atas sebagai hadits dari Nabi saw.
4. “Ibadah bulan Ramadhan itu tergantung antara langit dan bumi, dan tidak akan diangkat kepada Allah kecuali dengan mengeluarkan zakat fitri”.
Dalam kitab al-Jami al-Shaghir-nya Imam al-Suyuti mengatakan bahwa hadits ini dhai'f, tanpa memberikan alasannya. Dan dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin Ubaid al-Bashri, seseorang yg tdk dikenal identitasnya (lihat kitab Faidh al-Qadir). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu 'Asakir, dan di dalamnya 'Abd al-Rahman bin Utsman bin 'Umar. Rawi ini juga tidak diketahui identitasnya (lihat Silsilah al-Ahadits al-Dhai'fah wa al-Maudhu'ah—Muhammad Nasiruddin al-Albani). Kesimpulannya, sanad hadits ini tidak dapat dinilai karena ada rawi yang majhul (tidak diketahui).
Lalu bagaimana dengan isi hadits ini? asy-Syaikh al-Albani berkata, “Sekiranya hadits ini shahih, hal itu berarti ibadah puasa ramadhan itu tidak akan diterima oleh Allah sampai yang bersangkutan mengeluarkan zakat fitri. Dan saya tidak mengetahui apakah ada seorang ulama yang berpendapat seperti itu".
Jadi zakat fitri dan puasa Ramadhan adalah 2 ibadah berbeda. Memang benar, ibadah Ramadhan kita tidak akan sempurna bila kita tidak menunaikan zakat fitri. Namun jika dikatakan menggantung dll, dan itu dari hadits dll, maka ini termasuk kedustaan atas nama Nabi saw.
5. "Barangsiapa berbuka pada suatu hari dari bulan Ramadhan tanpa alasan dan bukan karena sakit, maka dia tidak bisa menggantinya dengan puasa Dahr (satu tahun) sekalipun dia menjalankannya."
Hadits ini disampaikan al-Bukhari sebagai komentar dalam kitab Shahih-nya tanpa sanad. Telah disambung juga oleh Ibnu Khuzaimah, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, dan Ibnu Hajar melalui jalan Abul-Muthawwis, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.
Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul-Bari (IV/161) bahwa hadits ini memiliki 3 cacat, yang 2 di antaranya adalah; tidak diketahuinya keadaan Abul-Muthawwis, dan keraguan pada pendengaran ayahnya dari Abu Hurairah.
Adapun Ibnu Khuzaimah, setelah meriwayatkannya berkata, "Kalau memang kabar ini shahih, maka sesungguhnya aku tidak mengenal Ibnul-Muthawwis dan tidak juga ayahnya."
Dengan demikian hadits ini dihukumi dha`if.
Adapun bagi yang membatalkan puasanya dengan sengaja pada bulan Ramadhan, maka ia telah berdosa besar, wajib baginya bertaubat dan mengganti sesuai jumlah hari yang batal tersebut, demikian pendapat sebagian ulama.
6. Berpuasalah kalian niscaya akan menjadi sehat
Hadits ini merupakan penggalan dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Adi di dalam kitab al-Kaamil (VII/2521) melalui jalan Nahsyal bin Sa'id, dari adh-Dhahak, dari Ibnu Abbas.
Nahsyal berstatus matruk (tertolak), karena ia disebutkan suka berbohong, dan adh-Dhahak dikatakan tidak pernah mendengarnya dari Ibnu Abbas.
Hadits ini diriwayatkan pula dalam kitab al-Ausath (ath-Thabrani), ath-Thibbun Nabawi (Abu Nu'aim), Juz-u (Ibnu Bukhait), dan bbrp lainnya melalui jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Shalih, dari Abu Hurairah.
Sanad hadits ini dha'if. Abu Bakar al-Atsram mengatakan, "Aku pernah mendengar Ahmad
-dan dia menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin Muhammad- mengatakan, 'Mereka meriwayatkan darinya beberapa hadits munkar orang-orang tersebut' "
Penjelasan-penjelasan mengenai lemahnya sanad hadits ini tercantum dalam kitab Tahdzibul-Kamal (IX/417)
Penulis Kitab Shifatu Shawmin Nabi shallallahu 'alayhi wasallam fi Ramadhaan mengatakan bahwa hadits ini munkar.
Walaupun munkar, tidak bisa dipungkiri bahwa kedokteran modern telah membuktikan bahwa puasa itu menyehatkan.
Bahkan dr. Hiromi Shinya dalam buku beliau menjelaskan bagaimana enzim awet muda bekerja maksimal menjadikan tubuh lebih sehat dan cantik melalui puasa.
Namun, sekali lagi, kalimat tersebut di atas tidak boleh dialamatkan kepada Nabi saw, karena tidak ada bukti bahwa beliau yang mengatakannya.
Demikianlah sekilas pembahasan hadits-hadits yang bermasalah seputar Ramadhan.
Pertama, hadits yang akan disebutkan nanti bermasalah dari segi sanad, atau jalur periwayatan. Isinya bisa saja mengandung kebenaran, namun karena perawinya bermasalah, maka hadits tersebut tidak layak dialamatkan pada al-Musthofa Muhammad saw.
Karena, menisbatkan sesuatu atas nama Nabi saw, padahal bukan dari beliau, akan terkena ancaman yang sangat keras yaitu tempat duduk di neraka, na'udzu billah.
Sekali lagi, isinya bisa saja mengandung kebenaran.
Seperti jika disebutkan; "Sesungguhnya sholat itu akan menyehatkan raga". Isinya mungkin benar, bisa dibuktikan dengan teori kedokteran modern, dsb. Tapi, itu bukan hadits, maka haram hukumnya mengatakan itu dari Nabi saw.
Kedua, walaupun telah diketahui sebuah hadits populer ternyata merupakan hadits palsu, kita tidak bisa langsung menghakimi orang, atau ustadz di pengajian, yang kebetulan menyebutkan hadits tersebut, sebagai orang yang berdosa dll.
Karena, bisa jadi beliau memang belum tahu. Jadi, perlu berlapang dada terhadap kesalahan yang ada di masyarakat, dan mencari cara-cara yang baik dalam menyampaikan kebenaran.
Baiklah, kita akan mulai membahas hadits-haditsnya. Rujukan utama dalam pembahasan kali ini adalah:
- Hadis-Hadis Bermasalah, Prof. Ali Mustafa Ya'kub, Pustaka Firdaus
- Meneladani Shaum Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam, Pustaka Imam asy-Syafii
1. Permulaan bulan ramadhan itu rahmat, pertengahannya maghfirah, dan penghabisannya merupakan pembebasan dari api neraka.
Menurut Imam al-Suyuti hadits ini dhai'f, dan Syaikh al-Albani mengatakan hadits ini munkar. Pendapat ini tidak berlawanan karena hadits munkar adalah bagian hadits dha'if. Sumber kelemahan hadits ini ada pada 2 orang perawi yaitu, Sallam bin Sulaiman bin Sawwar yg disebut sebagai munkar al-hadits, dan Maslamah bin al-Shalt yg matruk (etimologi: ditinggalkan)(lihat al Jami' al Shaghir al-Suyuti, Silsilah al-Ahadits al-Dhai'fah wa al-Maudhu'ah. Nasiruddin al-Albani, Taisir Musthalah al-Hadits Dr. Mahmud Tahhan).
Hadits ini sendiri bertentangan dengan hadits shahih tentang Ramadhan yang mengatakan bahwa ada orang-orang yang dibebaskan dari api neraka di setiap malam Ramadhan.
Jadi pembebasan api neraka, bukan hanya di 10 malam terakhir, tapi di seluruh malam Ramadhan, masya Allah.
2. “Seandainya umatku mengetahui pahala ibadah bulan ramadhan, niscaya mereka menginginkan satu tahun penuh menjadi ramadhan”
Hadits ini merupakan penggalan dari hadits yg sangat panjang yg diriwayatkan oleh—antara lain—Imam Ibnu Khuzaimah dlm kitabnya Shahih Ibnu Khuzaimah, Imam Abu Ya'la, Imam Baihaqi dlm kitabnya Syu'ab al-Iman.
Walaupun hadits ini terdapat dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, namun bukan berarti Ibnu Khuzaimah meyakini dengan pasti keshahihan hadits tersebut.
Hal ini disebutkan sendiri oleh beliau dengan mengatakan ""ini adalah bab tentang fadhilah-fadhilah bulan ramadhan apabila hadits berikut shahih"
Prof. Mustafa Ali Ya'kub menyatakan bahwa, setelah ditelilti mendalam, hadits tersebut positif sebagai hadits palsu. Dikarenakan di setiap sanadnya terdapat Jarir bin Ayyub al-Bajali. Oleh para kritikus hadits ia dinilai sebagai pemalsu hadits, matruk, dan munkar (lihat Kitab al-Maudhu`at—Ibn al-Jauzi).
3. "Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan (pahalanya), doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni”.
Menurut Imam al-Suyuti hadits ini dhai'f. Namun perlu diingat bahwa di dalam hadits dhai'f juga terdapat hadits munkar, matruk dan maudhu'.
Dalam hadits ini, terdapat Ma'ruf bin Hisan(dhai'f), Sulaiman bin Amr al-Nakhai (lebih dhai'f daripada Ma'ruf, bahkan pendusta), Abd al-Malik bin Umair (sangat dha'if) (lihat Faidh al-Qadir—Muhammad 'Abd al-Rauf al-Minawi, Kitab al-Majruhin min al-Muhadditsin—Ibnu Hibban).
Berdasarkan data-data ini, maka hadits di atas dihukumi sebagai hadits palsu.
Meskipun palsu, makna yang terkandungnya tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena memang seorang yang berpuasa itu akan berpahala meskipun dia tidak melakukan apapun. Tapi tidak boleh mengatakan kalimat tersebut di atas sebagai hadits dari Nabi saw.
4. “Ibadah bulan Ramadhan itu tergantung antara langit dan bumi, dan tidak akan diangkat kepada Allah kecuali dengan mengeluarkan zakat fitri”.
Dalam kitab al-Jami al-Shaghir-nya Imam al-Suyuti mengatakan bahwa hadits ini dhai'f, tanpa memberikan alasannya. Dan dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin Ubaid al-Bashri, seseorang yg tdk dikenal identitasnya (lihat kitab Faidh al-Qadir). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu 'Asakir, dan di dalamnya 'Abd al-Rahman bin Utsman bin 'Umar. Rawi ini juga tidak diketahui identitasnya (lihat Silsilah al-Ahadits al-Dhai'fah wa al-Maudhu'ah—Muhammad Nasiruddin al-Albani). Kesimpulannya, sanad hadits ini tidak dapat dinilai karena ada rawi yang majhul (tidak diketahui).
Lalu bagaimana dengan isi hadits ini? asy-Syaikh al-Albani berkata, “Sekiranya hadits ini shahih, hal itu berarti ibadah puasa ramadhan itu tidak akan diterima oleh Allah sampai yang bersangkutan mengeluarkan zakat fitri. Dan saya tidak mengetahui apakah ada seorang ulama yang berpendapat seperti itu".
Jadi zakat fitri dan puasa Ramadhan adalah 2 ibadah berbeda. Memang benar, ibadah Ramadhan kita tidak akan sempurna bila kita tidak menunaikan zakat fitri. Namun jika dikatakan menggantung dll, dan itu dari hadits dll, maka ini termasuk kedustaan atas nama Nabi saw.
5. "Barangsiapa berbuka pada suatu hari dari bulan Ramadhan tanpa alasan dan bukan karena sakit, maka dia tidak bisa menggantinya dengan puasa Dahr (satu tahun) sekalipun dia menjalankannya."
Hadits ini disampaikan al-Bukhari sebagai komentar dalam kitab Shahih-nya tanpa sanad. Telah disambung juga oleh Ibnu Khuzaimah, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, dan Ibnu Hajar melalui jalan Abul-Muthawwis, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.
Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul-Bari (IV/161) bahwa hadits ini memiliki 3 cacat, yang 2 di antaranya adalah; tidak diketahuinya keadaan Abul-Muthawwis, dan keraguan pada pendengaran ayahnya dari Abu Hurairah.
Adapun Ibnu Khuzaimah, setelah meriwayatkannya berkata, "Kalau memang kabar ini shahih, maka sesungguhnya aku tidak mengenal Ibnul-Muthawwis dan tidak juga ayahnya."
Dengan demikian hadits ini dihukumi dha`if.
Adapun bagi yang membatalkan puasanya dengan sengaja pada bulan Ramadhan, maka ia telah berdosa besar, wajib baginya bertaubat dan mengganti sesuai jumlah hari yang batal tersebut, demikian pendapat sebagian ulama.
6. Berpuasalah kalian niscaya akan menjadi sehat
Hadits ini merupakan penggalan dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Adi di dalam kitab al-Kaamil (VII/2521) melalui jalan Nahsyal bin Sa'id, dari adh-Dhahak, dari Ibnu Abbas.
Nahsyal berstatus matruk (tertolak), karena ia disebutkan suka berbohong, dan adh-Dhahak dikatakan tidak pernah mendengarnya dari Ibnu Abbas.
Hadits ini diriwayatkan pula dalam kitab al-Ausath (ath-Thabrani), ath-Thibbun Nabawi (Abu Nu'aim), Juz-u (Ibnu Bukhait), dan bbrp lainnya melalui jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Shalih, dari Abu Hurairah.
Sanad hadits ini dha'if. Abu Bakar al-Atsram mengatakan, "Aku pernah mendengar Ahmad
-dan dia menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin Muhammad- mengatakan, 'Mereka meriwayatkan darinya beberapa hadits munkar orang-orang tersebut' "
Penjelasan-penjelasan mengenai lemahnya sanad hadits ini tercantum dalam kitab Tahdzibul-Kamal (IX/417)
Penulis Kitab Shifatu Shawmin Nabi shallallahu 'alayhi wasallam fi Ramadhaan mengatakan bahwa hadits ini munkar.
Walaupun munkar, tidak bisa dipungkiri bahwa kedokteran modern telah membuktikan bahwa puasa itu menyehatkan.
Bahkan dr. Hiromi Shinya dalam buku beliau menjelaskan bagaimana enzim awet muda bekerja maksimal menjadikan tubuh lebih sehat dan cantik melalui puasa.
Namun, sekali lagi, kalimat tersebut di atas tidak boleh dialamatkan kepada Nabi saw, karena tidak ada bukti bahwa beliau yang mengatakannya.
Demikianlah sekilas pembahasan hadits-hadits yang bermasalah seputar Ramadhan.
Komentar
Posting Komentar