Dalam kitab Tafsir al Qurthubi, diceritakan bahwa ada seorang laki-laki mengadu kepada Imam Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain lagi berkata kepadanya, 'Do'akanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!, maka beliau mengatakan kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!.
Hal tersebut pun mendatangkan tanda tanya dari murid-murid Imam Hasan al Bashri. Maka beliau pun menjelaskan;
'Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh.
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai". (Nuh /71: 10-12)
Inilah keutamaan istighfar yang luar biasa, yang Allah sendiri langsung menjelaskannya di dalam al-Quran.
Maka tidak salah jika dikatakan istighfar adalah kunci pemecahan masalah-masalah yang kita hadapi.
Yang menarik, istighfar berlaku sebagai kunci penyelesaian masalah tidak hanya dalam konteks pribadi, tapi juga masyarakat bahkan negara.
Telah jelas syariat sholat istisqa, atau sholat meminta hujan yang disunnahkan penyelenggaraannya secara berjamaah sebagaimana sholat Id.
Apa yang dilakukan manusia saat sholat istisqa?
Memperbanyak istighfar.
Bersama-sama.
Karena kekeringan suatu wilayah adalah tanggung jawab bersama.
Maknanya, dosa yang bersifat kolektif akan menimbulkan masalah yang bersifat kolektif juga.
Kekeringan panjang yang melanda suatu daerah, sangat mungkin diakibatkan oleh akumulasi dosa yang dilakukan masyarakat di wilayah tersebut. Oleh karena itulah disyariatkan sholat istisqa sebagai sarana untuk memohon ampun dan memohon hujan secara kolektif.
Lihatlah apa yang dilakukan Amirul Mu'minin Umar bin Khattab ketika terjadi kekeringan;
Muthrif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi: "Bahwasanya Umar keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, 'Aku tidak mendengar Anda memohon hujan'. Maka ia menjawab, 'Aku memohon diturunkannya hujan dengan majadih langit (bahasa kiasan yang menunjukkan wasilah-red) yang dengannya diharapkan bakal turun air hujan. Lalu beliau membaca ayat, yang artinya,
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat." (Nuh: 10-11).
Sampai-sampai Umar radhiallahu 'anhu berkonsentrasi pada permohonan pengampunan dosa dan tidak secara khusus meminta hujan, karena ia begitu paham bahwa wasilah dari turunnya hujan itu adalah dengan beristighfar.
Ikhwah fillah,
Lebih jauh lagi, jika ditelaah surat Nuh ayat 10-12 di atas, maka kita bisa melihat dari sudut pandang yang lebih luas bahwa;
bencana alam yang melanda negeri,
krisis ekonomi,
problematika anak dan remaja,
permasalahan pertanian,
dapat diselesaikan dengan baik, bila kita memulainya dengan istighfar.
Ya, memulai.
Tentu logika keberagamaan kita sepakat bahwa Allah Yang Maha Menyaksikan juga mensyariatkan kerja-kerja riil dalam menuntaskan masalah. Tapi ketika kerja-kerja riil kita tidak lagi membuahkan hasil yang diharapkan.
Maka,
sangat mungkin,
dosa-dosa kitalah,
yang menghalanginya.
Mari, mulai memperbanyak istighfar. Dan istighfar, bukan hanya perkara lisan. Tapi sebuah pengakuan kesalahan, dan pengharapan dari hati akan terampuninya dosa.
Istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah "Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah:
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun." (Nuh: 10).
Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta. "
Inilah istighfar yang sebenarnya, yang akan menjadi kekuatan dan kunci dalam penyelesaian segala masalah.
Di saat kita merasa sulit, dan sibuk mencela zaman, perlulah kiranya kita melihat kembali pada diri kita pribadi, tidakkah kita menjadi salah satu penyebab datangnya keburukan pada zaman ini.
Tidakkah kita menjadi salah satu penyumbang dosa kolektif yang dilakukan masyarakat di zaman ini.
Mari renungkan sedikit syair dari Imam Syafi'i rahimahullah;
نَعِيْـبُ زَمَانَنَـا وَالْعَيْـبُ فِيْـنَـا
Kita cela zaman kita, padahal aib itu ada pada kita
وَمَـا لِزَمَانِنَـا عَـيـْبٌ سِـوَانَـا
Zaman kita tidak ada aibnya, selain pada diri kita
وَنَـهْجُو ذَا الزَّمَـانِ بِغَيْـرِ ذَنْـبٍ
kita seolah menghina Pemilik zaman yang tanpa salah
وَلَـوْ نَطَـقَ الزَّمَـانُ لَنـَا هَجَانَـا
sekiranya zaman itu berbicara kepada kita, dia akan mencela kita
Semoga Allah menolong kita untuk selalu beristighfar, dengan benar, kepadaNya.
Hal tersebut pun mendatangkan tanda tanya dari murid-murid Imam Hasan al Bashri. Maka beliau pun menjelaskan;
'Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh.
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا﴿١٠﴾يُرْسِلِ السَّمَاءَ
عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا﴿١١﴾وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ
لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai". (Nuh /71: 10-12)
Inilah keutamaan istighfar yang luar biasa, yang Allah sendiri langsung menjelaskannya di dalam al-Quran.
Maka tidak salah jika dikatakan istighfar adalah kunci pemecahan masalah-masalah yang kita hadapi.
Yang menarik, istighfar berlaku sebagai kunci penyelesaian masalah tidak hanya dalam konteks pribadi, tapi juga masyarakat bahkan negara.
Telah jelas syariat sholat istisqa, atau sholat meminta hujan yang disunnahkan penyelenggaraannya secara berjamaah sebagaimana sholat Id.
Apa yang dilakukan manusia saat sholat istisqa?
Memperbanyak istighfar.
Bersama-sama.
Karena kekeringan suatu wilayah adalah tanggung jawab bersama.
Maknanya, dosa yang bersifat kolektif akan menimbulkan masalah yang bersifat kolektif juga.
Kekeringan panjang yang melanda suatu daerah, sangat mungkin diakibatkan oleh akumulasi dosa yang dilakukan masyarakat di wilayah tersebut. Oleh karena itulah disyariatkan sholat istisqa sebagai sarana untuk memohon ampun dan memohon hujan secara kolektif.
Lihatlah apa yang dilakukan Amirul Mu'minin Umar bin Khattab ketika terjadi kekeringan;
Muthrif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi: "Bahwasanya Umar keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, 'Aku tidak mendengar Anda memohon hujan'. Maka ia menjawab, 'Aku memohon diturunkannya hujan dengan majadih langit (bahasa kiasan yang menunjukkan wasilah-red) yang dengannya diharapkan bakal turun air hujan. Lalu beliau membaca ayat, yang artinya,
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat." (Nuh: 10-11).
Sampai-sampai Umar radhiallahu 'anhu berkonsentrasi pada permohonan pengampunan dosa dan tidak secara khusus meminta hujan, karena ia begitu paham bahwa wasilah dari turunnya hujan itu adalah dengan beristighfar.
Ikhwah fillah,
Lebih jauh lagi, jika ditelaah surat Nuh ayat 10-12 di atas, maka kita bisa melihat dari sudut pandang yang lebih luas bahwa;
bencana alam yang melanda negeri,
krisis ekonomi,
problematika anak dan remaja,
permasalahan pertanian,
dapat diselesaikan dengan baik, bila kita memulainya dengan istighfar.
Ya, memulai.
Tentu logika keberagamaan kita sepakat bahwa Allah Yang Maha Menyaksikan juga mensyariatkan kerja-kerja riil dalam menuntaskan masalah. Tapi ketika kerja-kerja riil kita tidak lagi membuahkan hasil yang diharapkan.
Maka,
sangat mungkin,
dosa-dosa kitalah,
yang menghalanginya.
Mari, mulai memperbanyak istighfar. Dan istighfar, bukan hanya perkara lisan. Tapi sebuah pengakuan kesalahan, dan pengharapan dari hati akan terampuninya dosa.
Istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah "Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah:
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun." (Nuh: 10).
Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta. "
Inilah istighfar yang sebenarnya, yang akan menjadi kekuatan dan kunci dalam penyelesaian segala masalah.
Di saat kita merasa sulit, dan sibuk mencela zaman, perlulah kiranya kita melihat kembali pada diri kita pribadi, tidakkah kita menjadi salah satu penyebab datangnya keburukan pada zaman ini.
Tidakkah kita menjadi salah satu penyumbang dosa kolektif yang dilakukan masyarakat di zaman ini.
Mari renungkan sedikit syair dari Imam Syafi'i rahimahullah;
نَعِيْـبُ زَمَانَنَـا وَالْعَيْـبُ فِيْـنَـا
Kita cela zaman kita, padahal aib itu ada pada kita
وَمَـا لِزَمَانِنَـا عَـيـْبٌ سِـوَانَـا
Zaman kita tidak ada aibnya, selain pada diri kita
وَنَـهْجُو ذَا الزَّمَـانِ بِغَيْـرِ ذَنْـبٍ
kita seolah menghina Pemilik zaman yang tanpa salah
وَلَـوْ نَطَـقَ الزَّمَـانُ لَنـَا هَجَانَـا
sekiranya zaman itu berbicara kepada kita, dia akan mencela kita
Semoga Allah menolong kita untuk selalu beristighfar, dengan benar, kepadaNya.
Mantap, tapi sering di lupakan
BalasHapus