Ketika harta terganggu, manusia menjadi lebih sensitif. Ketika syariat mencoba mengatur ini itu ttg harta, seolah berbagai alasan dan logika keluar tuk pembenaran.
Kasus murtad besar-besaran sepeninggal Al Mustofa shallallahu `alayhi wasallam pun sedikit banyak dipengaruhi urusan harta; enggan berzakat.
Mungkin karena itulah, Al Quran memberikan penekanan luar biasa ketika berbicara tentang salah satu dosa (terbesar) dalam muamalah; riba
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) *jika kamu orang-orang yang beriman.
(Al Baqarah: 278)
Sudah seruannya ditujukan kepada orang beriman, masih dikuatkan lagi dengan perintah taqwa, itupun ditegaskan lagi dengan penutup "jika kamu beriman".
Jadi, ketaatan muamalah ini tentang iman.
Kondisi akhir zaman bisa jadi membuat manusia terpaksa bersentuhan dengan yang haram; aset yang diperoleh melalui riba, perizinan yang diperoleh dengan sogok dsb.
Tapi, wajib ada pengingkaran di dalam hati, dan malu di dalam rasa.
Dan terus berusaha, memilih yang lebih dekat kepada syariah, walaupun mungkin belum sempurna.
Inilah iman.
يَأْتِي عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli apa yang dia ambil, apakah dari hasil yang halal atau yang haram.”
(HR. Al Bukhari)
Allahul musta`an
Komentar
Posting Komentar