Bukan tanpa hikmah tentunya, ketika Allah `azza wa jalla mempersiapkan pengemban risalah penyempurna di muka bumi dengan sebuah sifat mulia; Al-Amin, yang terpercaya.
Al-Mustofa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dikenal dengan kepercayaan dan kejujuran yang paripurna, sebagai persiapannya menerima dan mendakwahkan Islam, syariat terakhir, penutup, penyempurna.
Di antara peristiwa dakwah yang fenomenal adalah ketika beliau mengumpulkan Bani Quraisy untuk mendengarkan dakwahnya lalu berkata:
"Apa pendapat kalian jika kuberitahukan kepada kalian bahwa pasukan berkuda dari musuh di balik lembah ini akan menyerang kalian, apakah kalian akan membenarkanku?"
Mereka menjawab: "Tentu, kami tidak pernah mendapatimu selain bersifat *JUJUR.*"
Lalu beliau berkata:
"Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan adzab yang berat"
Maka Abu Lahab berkata:
"Celakalah kamu! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?!"
Maka Allah azza wa jalla menurunkan ayat:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab..." sampai akhir surat.
(Sahih Bukhari dan Muslim)
Demikianlah Islam mengawali ajarannya dengan kejujuran, dan menjadikan kejujuran sebagai akhlak yang tinggi dan sangat mulia.
Sebagaimana Islam menghina kebohongan, bahkan melarangnya sekalipun hanya untuk bercanda.
“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.”
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Jika hanya sekedar bercanda saja sampai diingatkan dengan "celaka" yang diulang 3x, maka bagaimana dengan dusta yang bukan bercanda, dusta urusan pekerjaan, urusan keluarga, atau bahkan urusan orang banyak?
Diceritakan bahwa Imam Bukhari bahkan tidak menerima hadits dari orang yang menipu hewan sekalipun.
Karena seseorang yang terbiasa dusta dalam satu hal sangat mungkin juga dusta dalam kebaikan lain yang ditampakkannya.
Demikian hinanya akhlak dusta hingga pelakunya termasuk yang halal dighibahi (disebarkan keburukannya), padahal ghibah sejatinya adalah dosa besar.
Lebih jauh lagi, dusta termasuk kemunafikan.
"Tanda orang munafik itu tiga jika berucap ia berdusta, jika membuat janji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia khianat"
(Shahih Bukhari dan Muslim)
Ulama tafsir juga menyampaikan bahwa kedustaan termasuk yang diancam Allah dengan kemurkaan yang besar.
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
"Sangatlah besar kemurkaan di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
(QS. Ash-Shaf:3)
Jika Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam adalah ahli surga tertinggi dengan sifat jujurnya yang paripurna, maka kaum munafik adalah ahli neraka paling rendah dengan segala kedustaannya.
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka."
(QS. An-Nisa: 145)
Demikianlah Allah telah memilih kejujuran sebagai karakter dari hamba yang paling dicintaiNya, sebagaimana Allah telah memilih kedustaan (kemunafikan) sebagai karakter dari hamba-hamba yang paling dihinakanNya.
Mungkin, tak ada manusia yang sempurna dalam kejujuran, kecuali Al-Mustofa shallallahu `alaihi wasallam.
Namun, kewajiban kita adalah selalu berusaha memilih jalan kejujuran, di antara sekian banyak kedustaan.
Allahul musta`an
Semoga Allah menolong kita.
Komentar
Posting Komentar