[Seri Belajar Muamalah - 016]
Di antara kritik yang sering dilontarkan terhadap lembaga keuangan syariah adalah dianggap hanya beda istilah.
Benarkah demikian?
Sebelum membahas benar tidaknya kritik itu, penting dipahami bahwa syariat, sebagaimana juga hukum secara umum, sangat memperhatikan penggunaan istilah.
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
"Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)."
(QS. Qaf: 18)
Ayat ini menjadi dalil para ulama menetapkan kaidah bahwa kata memiliki konsekuensi hukum, karenanya dicatat oleh malaikat dengan cermat.
Contoh sederhananya akad nikah.
Bila kalimat "Saya nikahkan..." diganti kalimat "Saya jual anak saya....", pasti diteriaki tidak sah.
Selama belum sah akadnya, maka haram hukumnya hidup sebagai suami istri. Istilahnya pun berbeda; kumpul kebo.
Yang dilakukan setelah akad sama persis; hubungan suami istri. Tapi status hukumnya surga atau neraka, karena beda istilah saat akad.
Demikian juga dalam akad muamalah harta. Perhitungannya bisa sama persis, metode cicilannya bisa serupa, tapi karena beda kata dalam akad dan dokumennya, maka berbeda pula hukum syariahnya.
Apalagi, industri keuangan syariah di Indonesia bukan hanya beda kata, tapi beda Undang-Undangnya, beda peraturan BI dan OJK-nya, beda Fatwa MUI-nya, beda Pernyataan Standar Akuntansi Keuangannya, dan masih banyak perbedaan lainnya.
Kalau sudah sedemikian banyak bedanya, apakah logis kalau disebut cuma beda istilah?
Semoga Allah menolong kita dalam menyempurnakan muamalah harta.
Bogor,
H-59 Ramadhan 1441
Komentar
Posting Komentar