“Wahai manusia bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, karena tidaklah suatu jiwa akan mati hingga terpenuhi rezekinya. Walau lambat rezeki tersebut sampai kepadanya. Maka bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, ambillah rezeki yang halal dan tinggalkanlah rezeki yang haram”
[HR. Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani]
Di antara makna dari hadits ini adalah rezeki sudah ditetapkan besarannya, sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan Allah azza wa jalla.
Namun untuk mendapatkan rezeki yang sudah ditetapkan itu, manusia wajib berusaha. Sebagaimana teguran Umar bin Khattab kepada sekelompok orang yang hanya duduk-duduk saja di masjid;
"...Sesungguhnya Allah Ta’ala mengaruniakan rezeki kepada mereka yang berusaha dan bekerja. Apa kalian tidak membaca firman Allah, 'Apabila shalat (Jumat) telah selesai dilaksanakan, maka menyebarlah kalian di muka bumi dan carilah kemurahan (rezeki) dari Allah'."
(Lihat buku Takdir, Dr. Yusuf Al Qardhawy).
Lebih jauh, dari hadits ini menunjukkan bahwa cara mencapai rezeki yang telah ditetapkan itu ada yang halal dan haram.
Barang siapa yang memilih cara yang haram, maka ia hanya mengurangi jatah rezeki sesuai yang ditetapkan. Tidak lebih, tidak kurang. Cuma bertambah dosanya saja. Demikian menurut sebagian ulama.
Jadi sama saja, berusaha dengan memakai cara yang halal, syubhat, ataupun haram, dosis rezekinya dari Allah tidak akan berubah. Sama saja.
Ibarat seorang anak yang mengambil jajanan dari tas belanja ibunya. Bisa dengan merebutnya secara kasar dan membuat barang belanjaan lain berantakan, atau dengan cara lembut sambil membantu ibunya merapikan barang belanjaan terlebih dulu.
Jika total rezeki yang akan didapat sama saja, untuk apa memilih cara-cara selain cara yang sudah jelas kehalalannya?
Bogor, 28 Safar 1443H
Komentar
Posting Komentar