Ulama berbeda pendapat mengenai arti bid’ah. Ada yang memaknai
semuanya sesat, ada pula yang menganggap terbagi dua antara yang baik
(hasanah) dan yang buruk (sayyi-ah/dholalah).
Berikut ini adalah praktek bid’ah hasanah dari zaman salaf hingga khalaf. Sebagiaannya diperdebatkan oleh para pendukung “semua bid’ah adalah sesat”. Dalam hal ini kita kembalikan pada perkataan al-Imam Malik di hadapan kubur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “setiap orang bisa diterima atau ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kubur ini”
Berikut ini adalah praktek bid’ah hasanah dari zaman salaf hingga khalaf. Sebagiaannya diperdebatkan oleh para pendukung “semua bid’ah adalah sesat”. Dalam hal ini kita kembalikan pada perkataan al-Imam Malik di hadapan kubur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “setiap orang bisa diterima atau ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kubur ini”
Saya awali dengan sedikit membahas hadis “kullu bid’atin dholalah” (segala bid’ah adalah sesat).
Kata “kullu” tidak selalu mencakup seluruh. Ini terbukti di dalam al-Quran
وجعلنا من الماء كل شىء حي
“Dan telah Kami (Allah) ciptakan segala (kullu) sesuatu yang hidup dari air yang hidup” (Q.S. al Anbiya’: 30)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
كل شىء خلق من الماء (رواه ابن حبان
Maknanya: “Segala (kullu) sesuatu diciptakan dari air” (H.R. Ibn Hibban)
Telah jelas bagi kita bahwa malaikat diciptakan dari cahaya, syaitan diciptakan dari api, serta fakta-fakta lain, yg merupakan pengecualian dari “kullu” yang disebutkan dalil-dalil di atas.
Hal ini juga dibuktikan dalam ayat yang lain
وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas seluruh (kullu) kapal (al-Kahfi : 79)
Jelas disebutkan di ayat yang sama bahwa Khidr merusak kapal seorang miskin agar tidak diambil sang Raja (cek juga ayat 71). Dari sini dapat disimpulkan walaupun al-Quran menyebut bahwa si Raja merampas seluruh (kullu) kapal, tapi kapal yang rusak tidak dirampasnya.
Berikut ini adalah praktek bid’ah hasanah dari masa ke masa:
1. Pembukuan al-Quran di zaman khalifah Abdullah bin Utsman Abu Bakr ash-Shiddiq
“Sungguh Umar telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul-qur’an. Lalu ia menyarankan agar aku (Abu Bakar Asshiddiq) mengumpulkan dan menulis Al Qur’an. Aku berkata, “Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Maka Umar berkata padaku, “Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan”. Ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar. Engkau (Zayd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Al Qur’an dan tulislah Al Qur’an!”
Zayd menjawab:
“Demi Allah, sungguh bagiku diperintah (untuk) memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung (yang ada), tidaklah seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al Qur’an.Bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?”
Maka Abu Bakar mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al Qur’an”.
2. Umar bin Khattab di masa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata, “Sebaik-baik bid'ah adalah ini” (Shahih Bukhari hadits no. 1906). Poin ini termasuk yang paling diperdebatkan antar dua kubu ulama. Tapi hendaknya dihormati pendapat yang membela bid’ah hasanah, karena seorang Ibn Hajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:
"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bid'ah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".
3. Dua kali adzan di Shalat Jumat tidak pernah dilakukan di masa Rasul shallallahu alaihi wasallam. Tidak pula di masa Khalifah Abu Bakar shiddiq. Khalifah Umar bin khattab pun belum memerintahkannya. Namun baru dilakukan di masa Utsman bn Affan, dan diteruskan hingga kini.
(Shahih Bukhari hadits no. 873)
4. Ibnu Umar membiarkan shalat dhuha berjamaah yang terjadi di masjid Nabawi, walaupun menyebutnya sebagai bid’ah.
Diriwayatkan dari Mujahid berkata: Saya dan ‘Urwah bin Zubair telah memasuki mesjid, sedangkan Abdullah bin Umar duduk di kamar Aisyah sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah, kami pun bertanya kepadanya tentang shalat orang-orang tersebut, dan beliau menjawab “Bid’ah”.
5. al-Imam al-Bukhari, yang disebut Amirul Mu’minin fil-hadis selalu melakukan sholat 2 rakaat sebelum memasukkan suatu hadis ke kitab Shahih-nya. Hal ini beliau sebutkan sendiri di mukaddimah kitab Shahih-nya tersebut.
6. al-Imam at-Tirmidzi menganggap membaca “shadaqallahul-azhim” selepas membaca al-Quran adalah bagian dari adab, walaupun tidak ada hadis tegas ttg hal ini, hanya ada dalil umum dari al-Quran. Hal ini diikuti oleh ulama ahli Tafsir, al-Imam al-Qurthubi sebagaimana beliau sebutkan dalam kitab tafsirnya.
7. Telah disebutkan oleh para ulama, sebagaimana al-Imam an-Nawawi juga menyebutkannya dalam kitab al-Adzkar, bahwa salah satu adab membaca al-Quran adalah menghadap kiblat, padahal tidak ada dalil yang tegas dan khusus dalam masalah ini.
8. al-Imam As Suyuthi mengatakan peringatan maulid sebagai min ahsani maa ubtudi’a (termasuk bid’ah yang terbaik), beliau menyusun kitab Husnul Maqshud fi ‘Amalil Maulud (Tujuan Kebaikan dalam Amal Maulid).
9. Lafazh takbir “Allahu akbar kabira walhamdulillahi katsira wa subhanallahi….” tidak ada dalilnya, namun hal ini dipraktekkan di Masjidil Haram sampai sekarang.
10. Ucapan “shalaatul qiyaami atsaabakumullah”, sebelum shalat qiyamul-layl di Masjidil Haram masih dipraktekkan hingga sekarang walaupun tidak ada dasarnya dari Nabi shallalahu alaihi wasallam
11. Para Imam di Masjidil-Haram selalu memperpanjang doa qunut witirnya melebihi apa yang diriwiyatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Hal ini pun dibenarkan oleh asy-Syaikh al-Utsaimin dalam salah satu risalahnya yang membahas qunut.
12. Berbeda dengan shalawat yg disyariatkan ketika menyebut nama Nabi shallallahu alaihi wasallam, tidak ada dalil khusus tentang penyebutan radhiallahu anhum bagi para sahabat (hanya ada dalil umum dalam al-Quran), ataupun rahimahumullah. Tetapi hal ini dipraktekkan mulai dari zaman salaf hingga sekarang.
Demikianlah sebagian bid’ah hasanah yang dipraktekkan dari masa ke masa. Dalam hal ini, ulama yang membolehkan bid’ah hasanah menganggap adanya dalil umum (contoh: ucapan shodaqallahu) atau kemashlahatan (contoh: adzan jumat 2 kali) bisa menjadi landasan munculnya bid’ah hasanah.
Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar