“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap
salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka
beliau menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”
Mari renungkan sedikit dialog Imam Abu Hanifah dengan muridnya ini.
Selama ini imajinasi zuhud kita terbuai dalam aura peribadatan kental, dalam panjangnya solat, banyaknya puasa, wajah yang tawadhu, dan mungkin dahi yang menghitam.
Tapi bagaimana dengan muamalah kita? Bukankah darah dan daging yang dipakai tuk ibadah kepadaNya terbentuk dari transaksi kerja dan usaha kita? Bahkan, rumah dan kendaraan, yang mungkin, selalu kita niatkan untuk ibadah, juga terbayar dari catatan aktvitas muamalah kita.
Di zaman modern ini, salah satu bentuk muamalah yang paling sering dijumpai adalah utang. Bahkan, utang telah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian kita. Kita mudahnya berutang untuk berbagai hal, mulai dari yang sangat mahal, sampai sekedar hp atau belanjaan di supermarket melalui kartu kredit. Padahal mungkin, Allah telah memampukan kita tuk membayarnya tunai! Tidakkah kita bersyukur?
Utang kita lebih didasari kemauan daripada kebutuhan. Kita terbawa teori2 ekonomi entah buatan siapa yang mengatakan mencicil lebih baik daripada membayar tunai. Kita manggut2 dengan falsafah credit is OK, selama bank bilang OK.
Kita dibuat lupa akan petunjuk jalan menuju kampung surga.
Padahal, manusia paling mulia telah bersabda,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ
“Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya utang, maka dia tidak akan masuk surga sampai utangnya itu dilunasi.”
(Hr. Ahmad, dihasankan Al Albani)
Seorang yang syahid 2 kali pun masih tertahan dari surga karena utangnya. Bagaimana dengan kita yang satu kalipun tidak?
Perlu ditegaskan bahwa utang itu hukumnya mubah, jika sesuai syariat. Di antara adabnya adalah; menjauhi riba, memiliki jaminan, dan menyegerakan pelunasan. Sudahkah kita memenuhi adab ini, khususnya yang pertama?
Utang itu hukumnya mubah, sebagaimana manusia paling mulia berutang kepada seorang Yahudi dengan menjaminkan zirah perangnya.
Namun, perlulah kita cermati; adakah beliau berutang untuk rumah yang lebih mapan, kendaraan yang lebih nyaman, atau perluasan ladang usaha dunia yang menggiurkan? Bukankah diantara doa yang matsur adalah meminta perlindungan dari utang?
Warisan lain dari manusia pemilik syafaat juga menyebutkan,
“Barangsiapa yang mati sedang ia berlepas diri dari tiga hal, ia akan masuk surga; yaitu, dari sombong, ghulul (mengambil harta rampasan sebelum di bagi) dan utang.
(HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah)
Tidakkah kita selalu meminta surga?
Maka berhentilah memudah-mudahkan berutang. Karena itu bukanlah gaya hidup kita.
Wallahul-musta'an
Mari renungkan sedikit dialog Imam Abu Hanifah dengan muridnya ini.
Selama ini imajinasi zuhud kita terbuai dalam aura peribadatan kental, dalam panjangnya solat, banyaknya puasa, wajah yang tawadhu, dan mungkin dahi yang menghitam.
Tapi bagaimana dengan muamalah kita? Bukankah darah dan daging yang dipakai tuk ibadah kepadaNya terbentuk dari transaksi kerja dan usaha kita? Bahkan, rumah dan kendaraan, yang mungkin, selalu kita niatkan untuk ibadah, juga terbayar dari catatan aktvitas muamalah kita.
Di zaman modern ini, salah satu bentuk muamalah yang paling sering dijumpai adalah utang. Bahkan, utang telah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian kita. Kita mudahnya berutang untuk berbagai hal, mulai dari yang sangat mahal, sampai sekedar hp atau belanjaan di supermarket melalui kartu kredit. Padahal mungkin, Allah telah memampukan kita tuk membayarnya tunai! Tidakkah kita bersyukur?
Utang kita lebih didasari kemauan daripada kebutuhan. Kita terbawa teori2 ekonomi entah buatan siapa yang mengatakan mencicil lebih baik daripada membayar tunai. Kita manggut2 dengan falsafah credit is OK, selama bank bilang OK.
Kita dibuat lupa akan petunjuk jalan menuju kampung surga.
Padahal, manusia paling mulia telah bersabda,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ
“Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya utang, maka dia tidak akan masuk surga sampai utangnya itu dilunasi.”
(Hr. Ahmad, dihasankan Al Albani)
Seorang yang syahid 2 kali pun masih tertahan dari surga karena utangnya. Bagaimana dengan kita yang satu kalipun tidak?
Perlu ditegaskan bahwa utang itu hukumnya mubah, jika sesuai syariat. Di antara adabnya adalah; menjauhi riba, memiliki jaminan, dan menyegerakan pelunasan. Sudahkah kita memenuhi adab ini, khususnya yang pertama?
Utang itu hukumnya mubah, sebagaimana manusia paling mulia berutang kepada seorang Yahudi dengan menjaminkan zirah perangnya.
Namun, perlulah kita cermati; adakah beliau berutang untuk rumah yang lebih mapan, kendaraan yang lebih nyaman, atau perluasan ladang usaha dunia yang menggiurkan? Bukankah diantara doa yang matsur adalah meminta perlindungan dari utang?
Warisan lain dari manusia pemilik syafaat juga menyebutkan,
“Barangsiapa yang mati sedang ia berlepas diri dari tiga hal, ia akan masuk surga; yaitu, dari sombong, ghulul (mengambil harta rampasan sebelum di bagi) dan utang.
(HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah)
Tidakkah kita selalu meminta surga?
Maka berhentilah memudah-mudahkan berutang. Karena itu bukanlah gaya hidup kita.
Wallahul-musta'an
Komentar
Posting Komentar