Ikhtilaf atau perbedaan dalam masalah fikih, khususnya di cabang-cabangnya adalah suatu keniscayaan. Dikhususkan pada bagian cabang, karena hal-hal yang prinsip dalam agama ini telah diberikan dalil yang jelas dan disepakati para ulama, sehingga yang berselisih dalam hal prinsip, maka ditolak pendapatnya secara mutlak.
Adapun penyebab ikhtilaf dalam masalah cabang/furu', ulama merumuskan latar belakangnya sebagai berikut:
Perbedaan kemampuan akal para ulama dalam menyimpulkan ayat atau hadits yang multi interpretatif.
Perbedaan informasi dan ilmu yang dimiliki para ulama.
Perbedaan lingkungan situasi dan kondisi.
Perbedaan ketentraman hati dalam menilai suatu riwayat hadits.
Perbedaan dalam menempatkan dalil yang haru didhulukan dari yang lain.
Berdasarkan kondisi-kondisi di atas maka wajarlah terjadi ikhtilaf. Bahkan ikhtilaf dalam permasalahan cabang dari agama ini telah terjadi di antara para sahabat sejak zaman Nabi saw. Salah satu kisahnya yang populer adalah kisah sholat Ashar di Bani Quraizhah.
Sebelum masuk ke dalam adab-adab ikhtilaf, maka perlu kita bedakan jenis-jenis ikhtilaf yang ada.
1. Ikhtilaf tanawwu’.
Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya.
Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya.
Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud z, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas c dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.
2. Ikhtilaf tadhad.
Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal.
Dalam perselisihan semacam ini, selayaknya seseorang tidak mengambil salah satu pendapat menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.
3. Ikhtilaf afham.
Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
Kebanyakan, ikhtilaf yang menjadi permasalahan adalah ketika menyangkut ikhtilaf tadhad.
Dalam hal ini, kita perlu kembali pada dalil;
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq-akhlaq yang mulia".
[Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam 'Adabul Mufrad' dan Imam Ahmad]
Maka akhlak pun harus menghiasi ikhtilaf yang terjadi dalam beragama.
Di antara adab dalam ikhtilaf adalah:
1. Ikhlas Karena Allah dan Terbebas dari Hawa Nafsu
Seringkali perselisihan antar kelompok atau pribadi nampak secara lahiriah sebagai perselisihan ilmiah atau mengenai masalah-masalah pemikiran semata-mata. Tetapi sesungguhnya perselisihan tersebut timbul karena faktor egoisme dan memperturutkan hawa nafsu yang dapat menyesatkan seseorang dari jalan Allah.
2. Meninggalkan Fanatisme terhadap Individu, Mazhab dan Golongan
Seseorang bisa berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab clan golongan.
Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya adanya dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya.
Sebagaimana firman Allah ta'ala;
"Ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul ".
Karenanya, kita tidak diperkenankan untuk bersikap fanatik terhadap hal-hal berikut :
a. Fanatik terhadap pendapat pribadi
b. Fanatik terhadap mazhab
c. Fanatik menentang Mazhab dan para Imam
d. Fanatik kepada kelompok atau partai
3. Berprasangka Baik Kepada Orang lain
Diantara akhlaq dasar yang penting dalam pergaulan sesama aktivis Islam ialah berprasangka baik kepada orang lain dan mencopot kacamata hitam ketika melihat amal-amal dan sikap-sikap mereka. Akhlak dan pandangan seorang Mu'min tidak boleh didasarkan pada prinsip memuji diri sendiri dan menyalahkan orang lain.
Firman Allah ta'ala;
"Sesungguhnya sebagian dari prasangka adalah dosa" (QS. Al Hujurat: 12)
4. Tidak Menyakiti dan Mencela
Di antara faktor penyambung hubungan ialah sikap tidak menyakiti dan mencela orang yang berbeda pendapat.
Bisa jadi orang lain yang benar dan kita yang salah, sebab dalam masalah ijtihad tidak ada kepastian tentang kebenaran salah satu dari kedua pendapat yang diperselisihkan.
5. Menjauhi Jidal dan Permusuhan Sengit
Faktor lain yang akan mendekatkan orang-orang yang saling berselisih pendapat ialah sikap menjahui perbantahan yang tercela dan permusuhan sengit. Islam, sekalipun memerintahkan perdebatan dengan cara yang lebih baik-- mengecam perbantahan yang bertujuan mengalahkan lawan dengan segala cara tanpa berpegang teguh kepada logika yang sehat dan timbangan yang bijaksana antar kedua belah pihak.
Allah mengecam orang-orang musyrik dan kafir karena melakukan perdebatan tersebut, di dalam firman-Nya:
"Di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya, dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. " (QS. al-Hajj: 8)
6. Dialog Dengan Cara yang Lebih Baik
Diantara landasan utama dalam etika" berbeda pendapat ialah Ddialog (jidal) dengan cara yang baik, sebagaimana ditegaskan di dalam firman Allah:
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. " (QS, An Nahl: 125).
Dalam ayat ini terdapat perbedaan ungkapan antara apa yang dituntut dalam melakukan nasehat (mau'izhah) dan apa yang dituntut dalam melakukan bantahan (jidal). Dalam melakukan mau'izhah cukup dengan cara yang baik (hasanah) tetapi dalam melakukan jidal tidak dibenarkan kecuali dengan cara yang lebih baik (ahsan).
Demikianlah, semoga Allah memudahkan kita berlapang dada dengan beradab.
Wallahu a'lam
Adapun penyebab ikhtilaf dalam masalah cabang/furu', ulama merumuskan latar belakangnya sebagai berikut:
Perbedaan kemampuan akal para ulama dalam menyimpulkan ayat atau hadits yang multi interpretatif.
Perbedaan informasi dan ilmu yang dimiliki para ulama.
Perbedaan lingkungan situasi dan kondisi.
Perbedaan ketentraman hati dalam menilai suatu riwayat hadits.
Perbedaan dalam menempatkan dalil yang haru didhulukan dari yang lain.
Berdasarkan kondisi-kondisi di atas maka wajarlah terjadi ikhtilaf. Bahkan ikhtilaf dalam permasalahan cabang dari agama ini telah terjadi di antara para sahabat sejak zaman Nabi saw. Salah satu kisahnya yang populer adalah kisah sholat Ashar di Bani Quraizhah.
Sebelum masuk ke dalam adab-adab ikhtilaf, maka perlu kita bedakan jenis-jenis ikhtilaf yang ada.
1. Ikhtilaf tanawwu’.
Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya.
Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya.
Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud z, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas c dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.
2. Ikhtilaf tadhad.
Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal.
Dalam perselisihan semacam ini, selayaknya seseorang tidak mengambil salah satu pendapat menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.
3. Ikhtilaf afham.
Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
Kebanyakan, ikhtilaf yang menjadi permasalahan adalah ketika menyangkut ikhtilaf tadhad.
Dalam hal ini, kita perlu kembali pada dalil;
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq-akhlaq yang mulia".
[Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam 'Adabul Mufrad' dan Imam Ahmad]
Maka akhlak pun harus menghiasi ikhtilaf yang terjadi dalam beragama.
Di antara adab dalam ikhtilaf adalah:
1. Ikhlas Karena Allah dan Terbebas dari Hawa Nafsu
Seringkali perselisihan antar kelompok atau pribadi nampak secara lahiriah sebagai perselisihan ilmiah atau mengenai masalah-masalah pemikiran semata-mata. Tetapi sesungguhnya perselisihan tersebut timbul karena faktor egoisme dan memperturutkan hawa nafsu yang dapat menyesatkan seseorang dari jalan Allah.
2. Meninggalkan Fanatisme terhadap Individu, Mazhab dan Golongan
Seseorang bisa berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab clan golongan.
Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya adanya dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya.
Sebagaimana firman Allah ta'ala;
"Ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul ".
Karenanya, kita tidak diperkenankan untuk bersikap fanatik terhadap hal-hal berikut :
a. Fanatik terhadap pendapat pribadi
b. Fanatik terhadap mazhab
c. Fanatik menentang Mazhab dan para Imam
d. Fanatik kepada kelompok atau partai
3. Berprasangka Baik Kepada Orang lain
Diantara akhlaq dasar yang penting dalam pergaulan sesama aktivis Islam ialah berprasangka baik kepada orang lain dan mencopot kacamata hitam ketika melihat amal-amal dan sikap-sikap mereka. Akhlak dan pandangan seorang Mu'min tidak boleh didasarkan pada prinsip memuji diri sendiri dan menyalahkan orang lain.
Firman Allah ta'ala;
"Sesungguhnya sebagian dari prasangka adalah dosa" (QS. Al Hujurat: 12)
4. Tidak Menyakiti dan Mencela
Di antara faktor penyambung hubungan ialah sikap tidak menyakiti dan mencela orang yang berbeda pendapat.
Bisa jadi orang lain yang benar dan kita yang salah, sebab dalam masalah ijtihad tidak ada kepastian tentang kebenaran salah satu dari kedua pendapat yang diperselisihkan.
5. Menjauhi Jidal dan Permusuhan Sengit
Faktor lain yang akan mendekatkan orang-orang yang saling berselisih pendapat ialah sikap menjahui perbantahan yang tercela dan permusuhan sengit. Islam, sekalipun memerintahkan perdebatan dengan cara yang lebih baik-- mengecam perbantahan yang bertujuan mengalahkan lawan dengan segala cara tanpa berpegang teguh kepada logika yang sehat dan timbangan yang bijaksana antar kedua belah pihak.
Allah mengecam orang-orang musyrik dan kafir karena melakukan perdebatan tersebut, di dalam firman-Nya:
"Di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya, dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. " (QS. al-Hajj: 8)
6. Dialog Dengan Cara yang Lebih Baik
Diantara landasan utama dalam etika" berbeda pendapat ialah Ddialog (jidal) dengan cara yang baik, sebagaimana ditegaskan di dalam firman Allah:
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. " (QS, An Nahl: 125).
Dalam ayat ini terdapat perbedaan ungkapan antara apa yang dituntut dalam melakukan nasehat (mau'izhah) dan apa yang dituntut dalam melakukan bantahan (jidal). Dalam melakukan mau'izhah cukup dengan cara yang baik (hasanah) tetapi dalam melakukan jidal tidak dibenarkan kecuali dengan cara yang lebih baik (ahsan).
Demikianlah, semoga Allah memudahkan kita berlapang dada dengan beradab.
Wallahu a'lam
Komentar
Posting Komentar