Langsung ke konten utama

Tawazun, Keseimbangan dalam Beragama

Tawazun berarti seimbang. Allah telah menjadikan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan. 


ٱلَّذِى خَلَقَ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ طِبَاقًا ۖ مَّا تَرَىٰ فِى خَلْقِ ٱلرَّحْمَٰنِ مِن تَفَٰوُتٍ ۖ فَٱرْجِعِ ٱلْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
(al Mulk:3)

Hal ini menjadi isyarat bagi manusia untuk hidup dalam keseimbangan pula. Atau bisa dikatakan bahwa keseimbangan adalah fitrah dalam kehidupan manusia.

Namun keseimbangan hidup tidak terjadi begitu saja. Hidup seimbang harus diciptakan. Kemampuan itu akan tumbuh dari buah pengetahuan terhadap hakikat kehidupan dan pengetahuan terhadap batasan-batasan, tujuan-tujuan serta manfaat dari kehidupan itu.

Islam mengajarkan hidup yang seimbang, karena Islam sendiri merupakan paket dalam penciptaan Allah untuk manusia, yang sesuai dengan fitrah. Jika keseimbangan adalah fitrah, maka Islam adalah bagian atau bahkan inti dari fitrah tersebut.


فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah…”
(ar Rum: 30)

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan dengan fitrah, yaitu memiliki naluri beragama, bertauhid. Dan Allah menghendaki manusia untuk tetap dalam fitrah itu. Seandainya pun ada manusia yang tidak beragama tauhid, biasanya diakibatkan pengaruh lingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang.

“Tiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (Islam), orang tuanyalah yang menjadikan ia sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”.


Tiga potensi manusia

Allah menciptakan manusia, secara fitrah, berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia diciptakan memiliki tiga potensi, yaitu al jasad (jasmani), al aql (akal), dan ar ruh (ruhani).

Sesuai fitrah keseimbangan ciptaanNya, Islam mengehendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang), memberikan sesuai haknya tanpa penambahan dan pengurangan.

Karena Allah memerintahkan untuk menegakkan neraca keseimbangan.

“Dan Allah telah meninggikan dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah neraca itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
(Ar Rahman : 7-9)

1.  Jasmani


Jasmani atau fisik adalah amanah dari Allah, karena itu harus dijaga dengan baik, bukan digunakan seenaknya. Sebagian manusia menganggap dirinya boleh melakukan apa saja terhadap tubuhnya karena merasa ialah pemilik tubuh itu. Padahal tidak, Allah-lah Pemiliknya, dan hendaknya kita mengikuti aturan Pemilik terhadap benda yang kita pinjam.

Menjaga amanah jasad berarti menjaganya agar dalam keadaan baik dan sehat.

Di antara kewajiban kita dengan jasad ini adalah beribadah. Dan, beribadah pun ternyata membutuhkan fisik yang kuat. Dalam sebuah hadits dikatakan

“Mukmin yang kuat itu lebih baik atau disukai Allah daripada mukmin yang lemah”
(H.R Muslim)

Jasmani harus dipenuhi kebutuhannya agar menjadi kuat. Diantara kebutuhannya adalah makanan, yaitu makanan yang halalan thayyiban (halal dan baik).

“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”
('Abasa : 24)

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yagn terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-lamgkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”
(Al Baqarah : 168)

“Hai orang-orang yang beriman. makanlah diantara reZeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kemu menyembah”
(Al Baqarah : 172)

Kebiasaan makan dan minum yang sehat, tidur dan beristirahat tepat.
“dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat”
(An Naba’ : 9)

Olahraga, bekerja, beraktivitas, kebutuhan biologis, kebersihan dan kesehatan pribadi.

 

2. Akal


Yang membedakan manusia dengan hewan adalah akal. Akal pulalah yang menjadikan manusia lebih mulia  dari makhluk-makhluk lainnya. Dengan akal, manusia mampu berpikir untuk menelaah sesuatu, mencegahnya dari kejahatan dan perbuatan jelek, mencari solusi atas permasalahan, membantunya dalam memanfaatkan kekayaan alam, dan semuanya itu dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah fil ardhi (wakil Allah di atas bumi)

“Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, ‘ Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seoran gkhalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’
(Al Baqarah : 30)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”
(Al Ahzab : 72)

Kebutuhan akal adalah ilmu untuk pemenuhan sarana kehidupannya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bersaksi”
(Ali Imran : 190)

3. Ruh (hati)

 

Kebutuhan hati adalah dzikrullah.

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(ar-Ra'du: 28)

Pemenuhan kebutuhan ruhani sangat penting, agar ruh dan jiwa tetap memiliki semangat hidup. Tanpa pemenuhan kebutuhan tersebut jiwa akan mati dan tidak sanggup mengemban amanah besar yang dilimpahkan kepadanya.

Lihatlah bagaimana kisah Ibnu Taimiyyah yang diceritakan muridnya, Ibnu Qayyim.

Kebiasaan Ibnu Taimiyah adalah duduk berdzikir setelah shalat subuh. Muridnya, Ibnu Qoyyim menceritakan hal ini, “Suatu kali saya mendatangi Syaikh Islam Ibnu Taimiyah setelah shalat subuh. Ia duduk berdzikir sampai matahari mulai meninggi, setelah itu ia memangku dan berkata. “Ini sarapanku, apabila akau tidak sarapan (membaca dzikir) niscaya hilang kekuatanku”

Hendaklah kita memohon sebagaimana Nabi saw memohon;
اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
 
ALLAHUMMA A’INNI ‘ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBADATIK 
[Ya Allah, tolonglah aku agar selalu berdzikir/mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. Abu Daud dan Ahmad, shahih)





Penting untuk kita pahami sebenarnya, Tawazun (keseimbangan) yang kita lakukan adalah keseimbangan yang dikehendaki oleh ALLAH SWT bukan keseimbangan yang diinginkan oleh manusia.

Manusia yang mengikuti hawa nafsunya merasa ia berada dalam kenikmatan, padahal ada sisi kehidupannya yang kosong. Ia mungkin merasa hidup seimbang dan sempurna, tapi tidak menyadari kerusakan yang ada pada dirinya.

Contoh-contoh manusia yang tidak tawazun
• Manusia Atheis: tidak mengakui Allah, hanya bersandar pada akal (rasio sebagai dasar) .
• Manusia Materialis: mementingkan masalah jasmani / materi saja.
• Manusia Pantheis (Kebatinan): bersandar pada hati/ batinnya saja.

Jenis-jenis manusia di atas bisa saja merasakan kepuasan dalam hidupnya, tapi itu semu. Karena kepuasan sesungguhnya hanya bisa didapat dari aturan Khaliq, Pencipta Semesta, bukan makhluq, yang hanya diciptakan dan memiliki banyak keterbatasan.


Wallahu a'lam





referensi:
https://sariyusriati.wordpress.com
*diambil dari buku Super Mentoring Senior

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persamaan Umar bin Khattab dan Anak-Anak Kita

Dalam Hadits Imam Ad-Darimi no. 436, dikisahkan bahwa; Suatu ketika Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ia dalam kondisi bersemangat karena mendapatkan salinan Taurat. Namun Nabi justru menampakkan wajah tidak senang, bahkan Umar ditegur dengan keras. Apa persamaannya dengan anak-anak kita sekarang? Sama-sama tidak dianjurkan membaca sembarang sumber, sebelum iman tertanam kuat di dalam jiwa. Betul, anak-anak kita sekolahnya di islam terpadu, ngaji di sekolah setiap hari. Pun ditegakkan aturan menutup aurat selalu. Tapi juga rajin menyerap tontonan artis korea yang tampak glowing dengan busana terbuka, kata-kata kasar di postingan viral, juga bermain game yang padat konten pembunuhan dan pakaian seksi. Jika seorang sekelas Umar yang masih halaqoh langsung dengan sang Nabi saja masih dilarang dulu baca-baca Taurat sembarangan. Apakah seorang anak diperbolehkan "baca-baca" gadget sembarangan hanya karena sudah sek...

Kok Orang Tua Dulu Ga Belajar Parenting?

Orang tua sekarang harus belajar bagaimana bersikap ke anak, cara berbicara ke anak. Orang tua ga boleh marah ke anak, ga boleh banyak nyuruh, tapi harus paham kejiwaan anak. Orang tua juga harus paham perkembangan otak anak. Cara parenting ke anak usia 7 tahun beda dengan yang 12 tahun. Nanti kalau anak remaja beda lagi caranya. Jadi orang tua harus paham adab dan tata cara berinteraksi dengan anak. Apakah anak juga belajar "childrening"? Belajar gimana cara bersikap dan berbicara kepada orang tua? Atau qoulan karima kalau kata Al-Quran... Gimana adab ketika ditegur orang tua, dan sikap ketika orang tua menyuruh sesuatu? Kenapa anak ga belajar "childrening"? Karena anak fokus belajar akademik agar pintar. Rajin les dan ekskul agar berprestasi. Biar masa depan sukses, pekerjaan bergengsi, hidupnya mapan. Sedangkan orang tuanya harus rajin parenting, biar ga berbuat salah sama anak... Lalu, kenapa banyak orang tua dulu ga belajar parenting tapi anak-anak...

Ulama Ahlus Sunnah Pendukung Maulid

Berikut ini beberapa pendapat imam ahlus sunnah yang pro terhadap peringatan Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tidak dicantumkannya pendapat ulama yang kontra, karena biasanya pendapat tersebut sudah lebih banyak disebar. 1. Imam As-Suyuthi Pertanyaan: “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera untuk hamba pilihanNya, wa ba’d: telah datang pertanyaan tentang perbuatan maulid nabi pada bulan Rabi’ul Awwal, apa hukumnya menurut pandangan syariat? apakah itu terpuji atau tercela? apakah mendapatkan pahala atau tidak, bagi si pelakunya?”  Jawaban: Bagi saya, dasar dari maulid nabi adalah berkumpulnya manusia, membaca yang mudah dari Al Quran, dan membaca kisah-kisah yang warid  tentang konsepsi riwayat kehidupan  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan membaca apa-apa yang terjadi pada hari kelahirannya berupa tanda-tanda kemuliaannya, dan menyediakan makanan buat mereka, lalu selesai tanpa ada tambahan lain, maka itu adalah bid’ah hasanah, dan diberikan ...