Lihatlah bagaimana Al Quran menyusun ayat tentang puasa dan itikaf dengan SERUPA...
Mengawali rangkaian ayat puasa dengan al-Baqarah 183, Allah mewajibkan puasa agar orang beriman menjadi berTAKWA,
لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Dan ketika mengakhiri ayat puasa dengan al-Baqarah 187, Allah menjelaskan syariat itikaf dengan tujuan yang persis sama, yaitu TAKWA,
لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ
Setelah Allah menjelaskan dengan indah bagaimana mengisi puasa agar bisa menggapai takwa, yaitu dengan;
memberi makan orang lain ( ayat 184)
membaca alQuran (ayat 185)
berdoa (ayat 186),
Allah azza wa jalla menutupnya dengan syariat itikaf sebagai pengejawantahan bentuk puncak dari puasa itu sendiri.
Para ulama menjelaskan bahwa di antara tanda-tanda diterimanya amal sholeh seorang hamba adalah dimudahkannya hamba tersebut mengerjakan amal sholeh berikutnya.
Jika demikian, maka di antara tanda-tanda diterimanya puasa dan amalan hamba di awal-awal Ramadhan adalah, dimudahkannya hamba tersebut mengamalkan itikaf sebagai pamungkas amalan Ramadhan.
Jika,
puasa adalah,
MENAHAN diri dari sebagian kesenangan dunia; makan, minum, dan jima' di siang hari,
Maka,
itikaf adalah,
MENAHAN diri dari (hampir) seluruh kesenangan dunia,
di sepanjang hari,
siang dan malam,
demi ibadah,
bersendiri,
mendekat,
kepada Penguasa dunia dan akhirat.
Puasa, bernilai tinggi karena amal-amal yang dilakukan di dalamnya.
SERUPA dengan itu, itikaf juga bernilai tinggi karena amal-amal yang dilakukan di dalamnya, bukan sekedar berpindahnya tempat tidur ke masjid.
Itikaf apakah gerangan, jika datang ke masjid setelah tarawih, tak lupa membawa laptop dan smartphone, demi pekerjaan yang masih tak bisa dilepaskan.
Tak lupa membawa bantal dan selimut, demi tidur yang nyenyak,
Tak lupa membawa cemilan dan kudapan, demi nafsu makan yang tak kunjung hilang,
Lalu pulang langsung ba'da shubuh (bahkan sebagian pulang sebelum shubuh demi sahur yang lebih enak).
Dan tiba-tiba pelakunya merasa telah menjadi pemburu Surga!
Memang, Nabi shallallahu 'alayhi wasallam tetap sempat menikmati dunia di sela-sela itikafnya; bermanja sejenak dikeramasi rambutnya oleh istrinya.
Tapi, al Mustofa shallallahu 'alayhi wasallam beritikaf 10 hari penuh,
10 siang,
10 malam,
tidak pulang,
kecuali setelah shubuh di hari Idul Fitri!
Jika itikaf selalu putus setiap satu malam, rasanya tak layak laptop, hp, bantal, dan cemilan menjadi teman.
Quran, qiyam, dan banyak dialog dengan Allahur-Rahman, sepertinya lebih berhak atas waktu-waktu berkah yang terbatas itu.
Agar itikaf benar-benar menjadi pengejawantahan puasa yang tertinggi, puasa atas urusan dunia.
Agar takwa yang dituju, benar-benar menjadi penghias jiwa.
Mengawali rangkaian ayat puasa dengan al-Baqarah 183, Allah mewajibkan puasa agar orang beriman menjadi berTAKWA,
لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Dan ketika mengakhiri ayat puasa dengan al-Baqarah 187, Allah menjelaskan syariat itikaf dengan tujuan yang persis sama, yaitu TAKWA,
لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ
Setelah Allah menjelaskan dengan indah bagaimana mengisi puasa agar bisa menggapai takwa, yaitu dengan;
memberi makan orang lain ( ayat 184)
membaca alQuran (ayat 185)
berdoa (ayat 186),
Allah azza wa jalla menutupnya dengan syariat itikaf sebagai pengejawantahan bentuk puncak dari puasa itu sendiri.
Para ulama menjelaskan bahwa di antara tanda-tanda diterimanya amal sholeh seorang hamba adalah dimudahkannya hamba tersebut mengerjakan amal sholeh berikutnya.
Jika demikian, maka di antara tanda-tanda diterimanya puasa dan amalan hamba di awal-awal Ramadhan adalah, dimudahkannya hamba tersebut mengamalkan itikaf sebagai pamungkas amalan Ramadhan.
Jika,
puasa adalah,
MENAHAN diri dari sebagian kesenangan dunia; makan, minum, dan jima' di siang hari,
Maka,
itikaf adalah,
MENAHAN diri dari (hampir) seluruh kesenangan dunia,
di sepanjang hari,
siang dan malam,
demi ibadah,
bersendiri,
mendekat,
kepada Penguasa dunia dan akhirat.
Puasa, bernilai tinggi karena amal-amal yang dilakukan di dalamnya.
SERUPA dengan itu, itikaf juga bernilai tinggi karena amal-amal yang dilakukan di dalamnya, bukan sekedar berpindahnya tempat tidur ke masjid.
Itikaf apakah gerangan, jika datang ke masjid setelah tarawih, tak lupa membawa laptop dan smartphone, demi pekerjaan yang masih tak bisa dilepaskan.
Tak lupa membawa bantal dan selimut, demi tidur yang nyenyak,
Tak lupa membawa cemilan dan kudapan, demi nafsu makan yang tak kunjung hilang,
Lalu pulang langsung ba'da shubuh (bahkan sebagian pulang sebelum shubuh demi sahur yang lebih enak).
Dan tiba-tiba pelakunya merasa telah menjadi pemburu Surga!
Memang, Nabi shallallahu 'alayhi wasallam tetap sempat menikmati dunia di sela-sela itikafnya; bermanja sejenak dikeramasi rambutnya oleh istrinya.
Tapi, al Mustofa shallallahu 'alayhi wasallam beritikaf 10 hari penuh,
10 siang,
10 malam,
tidak pulang,
kecuali setelah shubuh di hari Idul Fitri!
Jika itikaf selalu putus setiap satu malam, rasanya tak layak laptop, hp, bantal, dan cemilan menjadi teman.
Quran, qiyam, dan banyak dialog dengan Allahur-Rahman, sepertinya lebih berhak atas waktu-waktu berkah yang terbatas itu.
Agar itikaf benar-benar menjadi pengejawantahan puasa yang tertinggi, puasa atas urusan dunia.
Agar takwa yang dituju, benar-benar menjadi penghias jiwa.
Komentar
Posting Komentar