Langsung ke konten utama

Niat Diucapkan atau Cukup Dalam Hati?


Sebelum membahas lebih jauh kita perlu tahu lebih dulu apa itu niat. 

Niat adalah القَصْدُ (hal menyengaja/penyengajaan) yaitu;

عَزْمُ الْقَلْبِ عَلى فِعْلِ الشَّيْءِ

tekad hati untuk melakukan sesuatu

Niat adalah jenis dari اْلإِرَادَةُ (kehendak), namun bukan kehendak biasa, karena kehendak yang dimaksud adalah kehendak yang kuat (اْلعَزْمُ) yang diistilahkan dengan azam/kehendak yang kuat. Kehendak yang kuat tersebut diarahkan untuk melakukan perbuatan tertentu yang terkait dengan kewajiban seseorang, bukan terkait dengan perbuatan orang lain. Karena itulah niat dideskripsikan sebagai; 
عَزْمُ الْقَلْبِ عَلى فِعْلِ الشَّيْءِ

 tekad hati untuk melakukan sesuatu

Semua ulama sepakat bahwa niat amalan hati, bukan amalan lisan. 

Namun ada perbedaan sedikit terhadap niat sholat, niat puasa dan niat haji. 

1. NIAT SHOLAT

 Al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat 
(باب النية في الصلاة ) 
قال الشافع: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
“..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”
 
Kalau bersamaan dengan takbir berarti tidak mungkin diucapkan, tetapi dalam hati. 

Para ulama pengikut Imam Syafi'i menegaskan maksud perkataan beliau di dalam berbagai kitab, diantaranya 

1. Al-Imam An-Nawawi,didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير)

يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان

“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”

2. Dalam kitabnya yang lain Al-Imam An-Nawawi, 
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup”

[Kitab Al-Majmu’ (II/43)] 

3. Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab _Fathul Qarib_, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;
النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ

“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”

4. Al-Imam TaqiyuddinAbu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة)]
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان

“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”

Kitab kitab yang saya sebut di atas adalah kitab fiqh yang wajib dipelajari di pesantren di Indonesia. 
Lalu bagaimana hukumnya orang membaca usholi dst. Ulama Syafi'iyah membolehkan karena membaca usholi hanya sebagai alat bantu agar hati seseorang mantap niatnya. Seandainya tidak baca niat tetapi hatinya mantap, niatnya sah. 
Orang awam harus diberikan pengertian bahwa sholat adalah dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Usholi bulan bagian dari sholat. Kita boleh baca do'a sebelum sholat minta perlindungan dari syaitan agar bisa khusyu'. 

2. NIAT PUASA
Niat puasa dilakukan sebelum puasa dimulai, khususnya untuk puasa Ramadhan. Hal ini berbeda dengan niat sholat bersamaan waktunya dengan mulai sholat (pada saat takbiratul ihram) . 

Ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Daruquthni

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

"Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar subuh, maka tidak ada puasa baginya."
(HR Darulquthni 31/400)

Untuk puasa sunnah boleh niatnya di pagi hari berdasarkan hadits :

دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم، فقال: هل عندكم شيء؟ ، فقلنا: لا، فقال: فإني إذا صائم

“Suatu hari Rasulullah datang kepadaku, lalu beliau bertanya: “Apakah ada makanan?” Lalu kami menjawab: “Tidak ada”, maka Rasulullah berkata: “Kalau begitu saya puasa.” (HR Muslim)

Bagaimana dengan mengucapkan nawaitu showma ghodin dst? Hukumnya sama dengan usholi, sebagai alat bantu memantapkan hati. 

Dalam kitab I’anatu Thalibin pada bab Puasa (صوم), keterangan senada juga  ditemukan. 
النيات با لقلب ولا يشترط التلفظ بها بل يندب
“Niat itu dengan hati, dan tidak disyaratkan mengucapkannya. Tetapi mengucapkan niat itu disukai.” (Sayid Bakri, I’anatu Thalibin,  halaman 221)
Kitab I'anatu Tholibin juga merupakan kitab standar mazhab Syafi'i yang dipelajari di pesantren. 

3. NIAT HAJI

Terkait dengan niat haji pembahasan agak panjang. Ada hadits yang ditafsirkan berbeda oleh para ulama 

عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ وَعَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ وَحُمَيْدٍ أَنَّهُمْ سَمِعُوا أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهَلَّ بِهِمَا جَمِيعًا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا

"Dari Yahya bin Abu Ishaq dan Abdul Aziz bin Shuhaib dan Humaid bahwa mereka mendengar Anas radliallahu ‘anhu berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ihram untuk haji dan umrah sekaligus: “LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji. Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji).”" (H.R.Muslim)

Perkataan labbaik umratan wa hajjan ditafsirkan berbeda. 
Sebagian ulama memandang bahwa itu adalah niat haji atau umrah.
Sebagian yang lain menganggap itu bagian talbiyah yang setelah ihram. 

Namun ada pembahasan yang menarik bagi yang pernah belajar bahasa Arab. Analisis tersebut dikemukakan oleh seorang ulama Madzhab Hambali bernama 
الإمام محب الدين أبو البقاء عبد الله بن الحسين العكبري الحنبلي
Biasa dipanggil Abu Al-Baqo’ Al-Ukbary, beliau mengatakan:

النصب بفعل محذوف تقديره أريد عمرة أو نويت عمرة

"I’rob Nashob pada lafadz ‘Umrotan dan Hajjan adalah disebabkan Fi’il (kata kerja) yang dibuang._ _Perkiraan struktur kalimatnya adalah : Uriidu ‘Umrotan atau Nawaitu ‘Umrotan –aku ingin berumroh atau aku berniat umroh-" (I’robu Ma Yusy-kil Min Al-Fadzi Al-Hadits An-Nabawy, hlm 11)

Saya lebih cenderung mengartikan lafazh tersebut sebagai niat. Artinya ketika kita mengucapkan lafazh tersebut hati kita mantap nawaitu umratan atau hajjan. . Dikhawatirkan orang awam lupa memantapkan niat kalau lafazh itu hanya dianggap talbiyah biasa. 

Terlebih lagi ada hadits shohih yang memerintahkan Rasulullah untuk mengucapkan niat 

Dalil yang menunjukkan bahwa malaikat memerintahkan nabi melafalkan niat haji sekaligus umroh adalah hadis berikut ini;

صحيح البخاري (8/ 147)
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّيْلَةَ أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي وَهُوَ بِالْعَقِيقِ أَنْ صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ

"Dari Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malam ini Malaikat yang diutus oleh Rabbku datang kepadaku”. Saat itu Beliau sedang berada di lembah Al ‘Aqiq dan Malaikat itu berkata; “Shalatlah di lembah yang penuh barakah ini dan katakanlah: “Aku berniat melaksanakan ‘umrah dalam ‘ibadah hajji ini”" (HR.Bukhari 8/147)

Berdasarkan hadits tersebut Imam An Nawawi berpendapat :
المجموع شرح المهذب (7/ 224)
قال أصحابنا ينبغي لمريد الاحرام أن ينويه بقلبه ويتلفظ بذلك بلسانه
ويلبى فيقول بقلبه ولسانه نويت الحج وأحرمت به لله تعالى لبيك اللهم لبيك إلى آخر التلبية فهذا أكمل ما ينبغى له

"Ulama-ulama yang semadzhab dengan kami mengatakan; orang yang hendak berihrom seyogyanya meniatkan berniat dengan hati dan melafalkan niatnya itu dengan lisannya dan bertalbiyah. Dia mengucapkan dengan hati dan lisannya: nawaitu Al-Hajja wa ahromtu bihi lillahi ta’ala. Labbaik Allahumma labbaik dst sampai akhir talbiyah. Ini adalah yang paling sempurna dari apa yang seyogyanya baginya" (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadz-dzab, vol 7, hal 224)

Pembahasan niat dalam ibadah haji sebetulnya agak luas, bisa terkait dengan badal haji, haji yang terhalang dsb. 

Melafazkan niat berada di luar kegiatan ibadah orang awam harus tahu. Disamping itu tidak ada kitab fikih yang menyatakan bahwa kalau tidak melafazkan niat, ibadahnya tidak sah. Oleh karena itu tidak perlu saling menyalahkan. 

Wallahu a’lam 

Pondok Kelapa, 22 Jumadil akhir 1444 H. 

Mohammad Rosyad.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persamaan Umar bin Khattab dan Anak-Anak Kita

Dalam Hadits Imam Ad-Darimi no. 436, dikisahkan bahwa; Suatu ketika Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ia dalam kondisi bersemangat karena mendapatkan salinan Taurat. Namun Nabi justru menampakkan wajah tidak senang, bahkan Umar ditegur dengan keras. Apa persamaannya dengan anak-anak kita sekarang? Sama-sama tidak dianjurkan membaca sembarang sumber, sebelum iman tertanam kuat di dalam jiwa. Betul, anak-anak kita sekolahnya di islam terpadu, ngaji di sekolah setiap hari. Pun ditegakkan aturan menutup aurat selalu. Tapi juga rajin menyerap tontonan artis korea yang tampak glowing dengan busana terbuka, kata-kata kasar di postingan viral, juga bermain game yang padat konten pembunuhan dan pakaian seksi. Jika seorang sekelas Umar yang masih halaqoh langsung dengan sang Nabi saja masih dilarang dulu baca-baca Taurat sembarangan. Apakah seorang anak diperbolehkan "baca-baca" gadget sembarangan hanya karena sudah sek...

Kok Orang Tua Dulu Ga Belajar Parenting?

Orang tua sekarang harus belajar bagaimana bersikap ke anak, cara berbicara ke anak. Orang tua ga boleh marah ke anak, ga boleh banyak nyuruh, tapi harus paham kejiwaan anak. Orang tua juga harus paham perkembangan otak anak. Cara parenting ke anak usia 7 tahun beda dengan yang 12 tahun. Nanti kalau anak remaja beda lagi caranya. Jadi orang tua harus paham adab dan tata cara berinteraksi dengan anak. Apakah anak juga belajar "childrening"? Belajar gimana cara bersikap dan berbicara kepada orang tua? Atau qoulan karima kalau kata Al-Quran... Gimana adab ketika ditegur orang tua, dan sikap ketika orang tua menyuruh sesuatu? Kenapa anak ga belajar "childrening"? Karena anak fokus belajar akademik agar pintar. Rajin les dan ekskul agar berprestasi. Biar masa depan sukses, pekerjaan bergengsi, hidupnya mapan. Sedangkan orang tuanya harus rajin parenting, biar ga berbuat salah sama anak... Lalu, kenapa banyak orang tua dulu ga belajar parenting tapi anak-anak...

Ulama Ahlus Sunnah Pendukung Maulid

Berikut ini beberapa pendapat imam ahlus sunnah yang pro terhadap peringatan Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tidak dicantumkannya pendapat ulama yang kontra, karena biasanya pendapat tersebut sudah lebih banyak disebar. 1. Imam As-Suyuthi Pertanyaan: “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera untuk hamba pilihanNya, wa ba’d: telah datang pertanyaan tentang perbuatan maulid nabi pada bulan Rabi’ul Awwal, apa hukumnya menurut pandangan syariat? apakah itu terpuji atau tercela? apakah mendapatkan pahala atau tidak, bagi si pelakunya?”  Jawaban: Bagi saya, dasar dari maulid nabi adalah berkumpulnya manusia, membaca yang mudah dari Al Quran, dan membaca kisah-kisah yang warid  tentang konsepsi riwayat kehidupan  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan membaca apa-apa yang terjadi pada hari kelahirannya berupa tanda-tanda kemuliaannya, dan menyediakan makanan buat mereka, lalu selesai tanpa ada tambahan lain, maka itu adalah bid’ah hasanah, dan diberikan ...