Ketika berbicara politik dalam Islam, maka sebaiknya kita memahami beberapa prinsip berikut;
1. Islam adalah jalan hidup
Maknanya Islam tidak bisa dipisahkan dari berbagai sektor kehidupan kita, bahkan kita harus berusaha menghiasi segala relung hidup kita dengan nilai-nilai Islam.
Allah 'azza wajalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu."
(Al Baqarah 208)
2. Asal dari segala sesuatu adalah boleh, sampai tegaknya dalil yang mengharamkannya.
Firman Allah ta`ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
(Al Baqarah 29)
Islam memang harus mencakup seluruh bagian dari hidup manusia, namun terkait perkara muamalah, hubungan antar manusia, keduniaan, maka Islam memberikan batasan yang amat luas. Itulah kaidah yg menjadi salah satu prinsip fiqih dalam Islam: al ashlu fil muamalah al ibahah, hatta yadullu ad dalilu 'ala tahrimiha.
Oleh karenanya, dalam urusan budaya, politik, ekonomi, pendidikan dll, yang perlu diperhatikan oleh seorang muslim adalah rambu-rambu larangannya.
Selama dalil larangannya tidak ada, maka hal tersebut menjadi boleh, dan perkara tersebut dinilai dari poin mashlahat dan mudharat yang dikandungnya.
3. Apa yang tidak bisa dikerjakan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya.
Ini adalah kaidah agung yang lain, yang telah dirumuskan para ulama fiqih; Maa laa yudraku kulluhu, laa yutraku kulluh.
Jika tidak bisa sholat sambil berdiri, sholatlah sambil duduk, jika tidak mampu, sholatlah sambil tidur, dst.
Allah `azza wajalla berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ۗ
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan infaqkanlah nafkah yang baik untuk dirimu."
(At Taghabun 16)
Dari kacamata 3 poin di atas, bagaimanakah kedudukan politik dalam Islam?
Politik, di antara maknanya adalah segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara, atau makna lainnya adalah seni untuk meraih kekuasaan, dan berbagai makna lainnya yang tidak bisa lepas dari pemerintahan dan kekuasaan.
Adapun Islam, agar dapat diaplikasikan secara total sebagai jalan hidup, tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan dan pemerintahan.
Betapa banyak bagian-bagian dari hukum Islam yang tidak mungkin ditegakkan, kecuali dengan kekuasaan.
Oleh karenanya, penting bagi umat Islam untuk turut serta dalam politik.
Hal ini juga sangat erat kaitannya dengan sisi mashlahat mudharat. Jelas sekali bahwa politik yang dikuasai muslim yang baik, akan lebih mendatangkan mashlahat dibanding dikuasai pihak yang buruk.
Dengan menguasai politik, maka peraturan perundangan dapat diupayakan agar mendukung nilai-nilai Islam seperti anti pornografi, pelarangan miras, kurikulum pendidikan akhlaq, perbankan syariah dsb.
Sebaliknya, jika politik dibiarkan dikuasai oleh mereka yang tidak peduli nilai, maka justru akan melegalkan apa-apa yang dilarang dalam Islam; LGBT, pergaulan bebas, sistem riba dsb.
Maka tidak salah jika Imam al Ghazali berkata:
“Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.”
(Ihya ‘Ulumuddin, 1/17. Mawqi’ Al Warraq)
Pentingnya kedudukan politik dalam Islam ini tidak berkurang, meskipun negara memakai sistem yang tidak islami.
Sebagaimana disebutkan dalam poin ketiga di atas, kalaupun hanya sedikit kebaikan yang bisa kita usahakan, itu lebih baik daripada tidak ada kebaikan sama sekali.
Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad al Khudhairi pernah ditanya terkait partisipasi politik di negara non muslim, beliau pun menjawab;
"Kaum muslimin yang tinggal di negeri non-muslim, menurut pendapat yg benar adalah boleh berpartisipasi dalam pemilihan presiden di berbagai negara, atau memilih anggota majelis perwakilan jika hal itu dapat menghasilkan maslahat bagi kaum muslimin atau mencegah kerusakan bagi mereka. Dan, hujjah dalam hal ini adalah adanya berbagai kaidah syariat umum yang memang mendatangkan berbagai maslahat dan mencegah berbagai kerusakan, dan memilih yang lebih ringan di antara dua keburukan, dan mestilah bagi kaum muslimin di sana mengatur diri mereka, menyatukan kalimat mereka, agar mereka memperoleh pengaruh yang jelas. Kehadiran mereka bisa memberikan kontribusi atas berbagai keputusan-keputusan penting khususnya bagi kaum muslimin di negeri itu dan lainnya."
(Fatawa Istisyarat Al-Islam Al-Yaum, 4/506)
Demikianlah kaidah-kaidah dan pendapat ulama yang dapat menjadi perhatian kita dalam menyikapi politik, semoga Allah menguatkan, dan menyatukan umat dalam menyampaikan rahmat bagi seluruh alam.
Wallahul musta`an
Wallahu a`lam bish showab
Komentar
Posting Komentar