Langsung ke konten utama

Tafsir Al Kafirun

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kaafirun: 1-6)

Surat ini adalah surat Makkiyah (yang turun sebelum hijroh).

Tafsir al Azhar:

Sudah jelas, Surat ini diturunkan di Makkah dan yang dituju ialah kaum musyrikin, yang kafir, artinya tidak mau menerima seruan dan petunjuk kebenaran yang dibawakan Nabi kepada mereka.

“Katakanlah,” – olehmu hai Utusan-Ku – kepada orang-orang yang tidak mau percaya itu: “Hai orang-orang kafir!” (ayat 1). Hai orang-orang yang tidak mau percaya. Menurut Ibnu Jarir panggilan seperti ini disuruh sampaikan Tuhan oleh Nabi-Nya kepada orang-orang kafir itu, yang sejak semula berkeras menentang Rasul dan sudah diketahui dalam ilmu Allah Ta’ala bahwa sampai saat terakhir pun mereka tidaklah akan mau menerima kebenaran. Mereka menantang, dan Nabi SAW pun tegas pula dalam sikapnya menantang penyembahan mereka kepada berhala, sehingga timbullah suatu pertandingan siapakah yang lebih kuat semangatnya mempertahankan pendirian masing-masing. Maka pada satu waktu terasalah oleh mereka sakitnya pukulan-pukulan itu, mencela berhala mereka, menyalahkan kepercayaan mereka.

Maka bermufakatlah pemuka-pemuka Quraisy musyrikin itu hendak menemui Nabi. Mereka bermaksud hendak mencari, “damai”. Yang mendatangi Nabi itu menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina – ialah Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad bin Al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka kemukakan suatu usul damaki: “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah, dan di dalam segala urusan di negeri kita ini, engkau turut serta bersama kami. Kalau seruan yang engkau bawa ini memang ada baiknya daripada apa yang ada pada kami, supaya turutlah kami merasakannya dengan engkau. Dan jika kami yang lebih benar daripada apa yang engkau serukan itu maka engkau pun telah bersama merasakannya dengan kami, sama mengambil bahagian padanya.” – Inilah usul yang mereka kemukakan.

Tidak berapa lama setelah mereka mengemukakan usul ini, turunlah ayat ini: “Katakanlah, hai orang-orang yang kafir!” Aku tidaklah menyembah apa yang kamu sembah.” (ayat 2).

Menurut tafsiran Ibnu Katsir yang disalinkannya dari Ibnu Taimiyah arti ayat yang kedua: “Aku tidaklah menyembah apa yang kamu sembah,” ialah menafikan perbuatan (nafyul fi’li). Artinya bahwa perbuatan begitu tidaklah pernah aku kerjakan. “Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah.” (ayat 3). Artinya persembahan kita ini sekali-kali tidak dapat diperdamaikan atau digabungkan. Karena yang aku sembah hanya Allah dan kalian menyembah kepada benda; yaitu kayu atau batu yang kamu perbuat sendiri dan kamu besarkan sendiri. “Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah.” (ayat 5). Maka selain dari yang kita sembah itu berlain; kamu menyembah berhala aku menyembah Allah Yang Maha Esa, maka cara kita menyembah pun lain pula. Kalau aku menyembah Allah maka aku melakukan shalat di dalam syarat rukun yang telah ditentukan. Sedang kamu menyembah berhala itu sangatlah berbeda dengan cara aku menyembah Allah. Oleh sebab itu tidaklah dapat pegangan kita masing-masing ini didamaikan: “Untuk kamulah agama kamu, dan untuk akulah agamaku.” (ayat 6).

Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.

Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan perbedaan ini di dalam tafsirnya: “Dua jumlah suku kata yang pertama (ayat 2 dan 3) adalah menjelaskan perbedaan yang disembah. Dan isi dua ayat berikutnya (ayat 4 dan 5) ialah menjelaskan perbedaan cara beribadat. Tegasnya yang disembah lain dan cara menyembah pun lain. Tidak satu dan tidak sama. Yang aku sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, yang bersih daripada segala macam persekutuan dan perkongsian dan mustahil menyatakan diri-Nya pada diri seseorang atau sesuatu benda. Allah, yang meratakan kurnia-Nya kepada siapa jua pun yang tulus ikhlas beribadat kepada-Nya. Dan Maha Kuasa menarik ubun-ubun orang yang menolak kebenaran-Nya dan menghukum orang yang menyembah kepada yang lain. Sedang yang kamu sembah bukan itu, bukan Allah, melainkan benda. Aku menyembah Allah sahaja, kamu menyembah sesuatu selain Allah dan kamu persekutukan yang lain itu dengan Allah. Sebab itu maka menurut aku, ibadatmu itu bukan ibadat dan tuhanmu itu pun bukan Tuhan. Untuk kamulah agama kamu, pakailah agama itu sendiri, jangan pula aku diajak menyembah yang bukan Tuhan itu. Dan untuk akulah agamaku, jangan sampai hendak kamu campur-adukkan dengan apa yang kamu sebut agama itu.”

Al-Qurthubi meringkaskan tafsir seluruh ayat ini begini:
“Katakanlah olehmu wahai Utusan-Ku, kepada orang-orang kafir itu, bahwasanya aku tidaklah mau diajak menyembah berhala-berhala yang kamu sembah dan puja itu, kamu pun rupanya tidaklah mau menyembah kepada Allah saja sebagaimana yang aku lakukan dan serukan. Malahan kamu persekutukan berhala kamu itu dengan Allah. Maka kalau kamu katakan bahwa kamu pun menyembah Allah jua, perkataanmu itu bohong, karena kamu adalah musyrik. Sedang Allah itu tidak dapat dipersyarikatkan dengan yang lain. Dan ibadat kita pun berlain. Aku tidak menyembah kepada Tuhanku sebagaimana kamu menyembah berhala. Oleh sebab itu agama kita tidaklah dapat diperdamaikan atau dipersatukan: “Bagi kamu agama kamu, bagiku adalah agamaku pula.” Tinggilah dinding yang membatas, dalamlah jurang di antara kita.”

Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang hak hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang. Oleh sebab itu maka Akidah Tauhid itu tidaklah mengenal apa yang dinamai Cynscritisme, yang berarti menyesuai-nyesuaikan. Misalnya di antara animisme dengan Tauhid, penyembahan berhala dengan sembahyang, menyembelih binatang guna pemuja hantu atau jin dengan membaca Bissmillah.
Dan lain-lain sebagainya.
***

PELENGKAP

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya:

Tersebutlah dalam Shahih Muslim, diterima dari Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah SAW membaca Surat Al-Kafirun ini bersama Surat Qul Huwallaahu Ahad di dalam sembahyang sunnat dua rakaat sesudah tawaf.

Dalam Shahih Muslim juga, dari Hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW membaca Surat ini dan Qul Huwallaahu Ahad pada sembahyang dua rakaat sunnat Fajar (sebelum sembahyang Subuh). Demikian juga menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh Al-Imam Ahmad dari Ibnu Umar, bahwa Nabi membaca kedua Surat ini dua rakaat Fajar dan dua rakaat sesudah Maghrib, lebih dari dua puluh kali.

Sebuah Hadis dirawikan oleh Al-Imam Ahmad dari Farwah bin Naufal Al-Asyja’iy, bahwa dia ini meminta petunjuk kepada Nabi SAW apa yang baik dibaca sebelum tidur. Maka Nabi menasihatkan supaya setelah dia mulai berbaring bacalah Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun, sebab dia adalah satu pernyataan diri sendiri bersih dari syirik.

Dan telah kita jelaskan bahwa Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun, sama dengan seperempat dari Al-Qur’an. Surat ini mengandung larangan menyembah yang selain Allah, mengandung pokok akidah, dan segala perbuatan hati. Dia setali dengan Qul Huwallaahu (Surat Al-Ikhlas) yang akan kita tafsirkan kelak, Insya Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa Wali Santri untuk Anak di Pondok

  (… sebutkan nama anak …)  اَللّٰهُمَّ ارْحَمْ اَللَّهُمَّ فَقِّهُّ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ اللَّهُمّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ اللَّهُمّ اجْعَلِ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبَهُ، وَنُوْرَ صَدْرَهُ، وَجَلاَءَ حُزْنَهُ، وَذَهَابَ هَمَّهُ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لَهُ شَأْنَهُ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْهُ إِلَى نَفْسِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ Artinya: “Ya Allah rahmatilah (nama anak), Ya Allah pahamkanlah ia agama-Mu, dan ajarkanlah tafsir kepadanya (1), Ya Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya (2), Ya Allah jadikanlah Al-Quran hiburan di hatinya, cahaya di dadanya, penghapus kesedihannya, dan penghilang kegelisahannya (3), Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon, perbaikilah segala urusan anakku, jangan serahkan kepada dirinya sendiri walau hanya sekejap mata (4). Ya Rabb, anugerahkanlah aku anak yang ...

PRINSIP TAISIR DALAM FIQIH MENURUT MANHAJ WASATH

Masjid Al Ghiffari IPB 8 Oktober 2017 Kajian rutin Ahad kedua Dr. Taufiq Hulaimi, Lc, MA Link rekaman video di youtube: #1: https://youtu.be/RAu9KP5ihq4 #2: https://youtu.be/ugKbRapphBI #3: https://youtu.be/bfbqMWPrKfM Prinsip pertama dalam manhaj al wasathiyah adalah at taysir. At taysir: *Fiqih dibuat mudah selama masih ada dalil yang mendukungnya.* Kebalikannya: At tasyaddud: Fiqih dibuat keras dan berat. AL WASATHIYAH Al Azhar Mesir mensosialisasikan prinsip al wasathiyah. *Al wasathiyah artinya di tengah.* Sesuatu yang terbaik. Wasathiyah kurang tepat jika diterjemahkan dengan kata 'moderat' tetapi lebih tepat diterjemahkan sebagai 'yang terbaik.' Manusia ada kecenderungan untuk menjadi terlalu keras atau terlalu cair. Islam tidak keduanya, tetapi di tengah. Dan biasanya *yang terbaik adalah yang di tengah.* Terlalu keras, segalanya tidak boleh, ekstrim kanan. Terlalu cair, segalanya boleh, ekstrim kiri. وَكَذَٰ...

Mahabbatullah II: Pupuk Cinta dan Tanda-Tanda Cinta

Melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang sebab-sebab Mahabbatullah, kali ini kita akan membahas tentang amalan yang dapat memupuk Mahabbatullah dan tanda-tanda Mahabbatullah dalam diri kita. Di antara amalan pemupuk cinta adalah; 1. Membaca dan merenungi surat-surat cinta-Nya Allah azza wajalla, telah mengirimkan surat-suratNya kepada kita melalui perantaraan utusanNya al Mustofa. Maka jalan pertama untuk mencintai-Nya adalah dengan membaca surat-surat itu. الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (al Baqarah 121) Dan tidak hanya membaca, tapi juga memperhatikan ayat-ayatnya dan mengkajinya. كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا...