Harta haram ada 2; haram karena zat dan haram karena perolehan.
Harta haram karena zat seperti babi, termasuk pula harta curian, korupsi dll yang diperoleh tidak melalui keridhoan pihak pemilik harta dan pengambilnya. Harta seperti ini tidak boleh diterima sama sekali, apakah dalam bentuk hadiah, apalagi jika diperjualbelikan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ
“Tangan yang mengambil (harta orang lain) wajib menanggungnnya sampai dia kembalikan.” (HR. Ahmad 20086 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Adapun harta haram dari transaksi yang saling ridho antara 2 pihak namun melanggar syariat seperti harta riba, hasil jual beli khamr dll, ulama berbeda pendapat ttg hukumnya.
Sebagian menghalalkannya scr mutlak berdasar perkataan Ibnu Mas`ud.
Al-Hafidz Ibnu Rajab menyebutkan, bahwa Ibnu Mas’ud pernah ditanya tentang orang yang terang-terangan makan riba, dan tidak menjauhi harta haram? Bolehkah menerima pemberian darinya dan mendatangi undangannya
Kata Ibnu Mas’ud,
"Silahkan datangi, pemberian itu milik kalian, sementara dosanya, dia yang menanggung."
(Jami’ al-Ulum wal Hikam, hlm. 71)
Namun sebagian ulama memakruhkannya.
Ini merupakan pendapat Syafi’iyah.
As-Suyuthi mengatakan,
"Bertransaksi dengan orang yang dominan hartanya haram, jika tidak diketahui status harta (yang diserahkan), hukumnya tidak haram menurut pendapat yang benar, namun makruh."
(al-Asybah wa an-Nadzair, hlm. 107).
Allahu a`lam
Komentar
Posting Komentar