Bukan tanpa hikmah, ketika Allah menyiapkan utusan terakhirnya dengan sifat dan julukan Al-Amin (yang terpercaya), sebelum menerima "dalil" pertamanya.
Kepercayaan masyarakat didapat dari tahun-tahun kehidupan yang penuh dengan akhlak mulia, sejak belia hingga dewasa.
Teringat bagaimana bunda Khadijah radhiallahu 'anha menyemangati sang utusan di beratnya hari "pelantikan" sepulang dari Gua Hira;
"...Sungguh engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahim, pemikul beban orang lain yang susah, pemberi orang yang miskin, penjamu tamu serta penolong orang yang menegakkan kebenaran.."
(HR. Bukhari no. 6982).
Memang akhlak mulia itu tidak serta merta membuat dakwah setelahnya mudah-mudah saja. Tapi tanpa akhlak mulia, akan semakin sulit menyentuh hati manusia.
Akhlak mulia beliau shallallahu 'alahi wasallam membersamai masyarakatnya selama lebih dari 30 tahun, bahkan lebih lama dari masa dakwah beliau sendiri.
Hal inilah yang sepertinya ditiru oleh para pewarisnya, para ulama yang Allah tinggikan derajatnya dengan kebaikan.
Ibnul Mubarak berkata,
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun, sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,
“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.”
Imam Malik juga pernah berkata,
“Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Rabi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah-. Ibuku berkata,
“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”
Demikianlah para pendahulu agama ini mengajak tuk membekali diri dengan akhlak.
Dan demikian pula sebenarnya tujuan dari risalah ini diturunkan ke bumi.
Nabiyyina Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا بُعِØ«ْتُ ِلأُتَÙ…ِّÙ…َ صَالِØَ اْلأَØ®ْلاَÙ‚ِ.
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.”
(HR. Ahmad 2/381)
Allaahumma sholli wa sallim 'alaa habiibinaa Muhammad
===
Kota Hujan,
17 Jumadal Ula 1444
Komentar
Posting Komentar