لَـقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُوۡلٌ مِّنۡ اَنۡفُسِكُمۡ عَزِيۡزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيۡصٌ عَلَيۡكُمۡ بِالۡمُؤۡمِنِيۡنَ رَءُوۡفٌ رَّحِيۡمٌ
فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَقُلۡ حَسۡبِىَ اللّٰ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ؕ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ ؕ وَهُوَ رَبُّ الۡعَرۡشِ الۡعَظِيۡمِ
128. Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
129. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung".
(at Taubah 128-129)
Kedua ayat ini adalah penutup surat at-Taubah.
Di antara kandungan surat at-Taubah adalah ketegasan ayat-ayatnya, dan kisah-kisah ujian berat yang terkandung di dalamnya.
Namun ditutupnya surat ini dengan sifat kasih sayang al Mustofa Muhammad saw, seolah ingin menunjukkan bahwa, kalaupun beliau bersifat tegas, atau ada tuntunan yang terasa berat, maka itu untuk kemashlahatan umatnya jua.
"Aku bagaikan seorang yang menyalakan api, setelah menyala menerangi sekeliling, laron mengitarinya dan terjerumus ke dalam api itu. Kalian seperti itu, tapi aku menghalangi kalian terjerumus ke api, tetapi sebagian kalian terjerumus juga". Dalam riwayat lain beliau bersabda, "Aku memegang ikat pinggang kalian, tetapi sebagian kalian terlepas dari peganganku". Demikianlah Nabi saw yang mulia memisalkan dirinya sebagaimana diriwayatkan al Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah.
Kata "jaa-akum rosul"(telah datang kepada kalian rosul), memberi kesan bahwa Muhammad saw datang atas kehendak beliau sendiri, bukan didatangkan (diutus) oleh Allah swt, tetapi, penyebutan kata "rosul" memberi kesan bahwa kedatangan beliau adalah sebagai utusan Allah.
Gabungan dari kedua kata ini, melahirkan sebuah kesan baru bahwa beliau tercipta dengan potensi kenabian, sehingga, saat beliau menerima wahyu Ilahi, beliau menjadi sosok yang tidak hanya sungguh-sungguh berdakwah, tapi juga senang dan berbahagia dalam mengajak dan mengayomi umat. Demikian lebih kurang kesan dari asy-Sya'rowi.
Kata "min anfusikum" (dari diri kalian sendiri), memberi kesan bahwa beliau adalah bagian dari manusia juga. Dapat merasa sedih pada hal-hal yang membuat manusia sedih, dan bergembira sebagaimana manusia juga bergembira. Ia, shallallahu 'alayhi wasallam, adalah kita juga.
Sebagaimana umatnya, manusia, merasakan beban dan kesulitan, maka beliau juga merasakannya, bahkan lebih dulu dari mereka.
Setelah menceritakan tentang empati Rasulullah, maka kisah berlanjut dengan kelembutan hati beliau, yang sesungguhnya, sangat menginginkan kebaikan bagi umatnya.
Karena itu, walaupun tuntunan itu terkadang terasa berat, beliau tetap menyampaikannya, demi kemashlahatan umatnya.
Kelembutan dan kasih sayang beliau, yang digambarkan dalam sifat "rouufur rahiim" (pengasih dan penyayang) adalah suatu karakteristik luar biasa dari Nabi kita.
Rauf, memiliki makna kasih sayang yang melimpah ruah bahkan melebihi kebutuhan penerimanya. Pakar bahasa az-Zajjaj mengatakan, apabila rahmat sedemikian besar maka ia dinamai "ra'fah", dan pelakunya disebut "rauuf".
Adapun menurut Quraish Shihab, tidak ditemukan seorang nabi pun di dalam Al Quran yang menyandang 2 sifat Allah sekaligus, kecuali Nabi Muhammad saw, yaitu sebagaimana disebutkan dalam ayat ini "rouufur rahiim". Namun perlu digarisbawahi bahwa kandungan sifat yang melekat pada manusia dan pada Allah, sangatlah berbeda, walaupun penyebutannya sama.
Ikhwah fillah, secara keseluruhan ayat 128 ini bercerita tentang kemuliaan dan begitu kasihnya beliau pada umatnya.
Abdullah bin ‘Amru ra meriwayatkan bahwa:
Rasulullah saw telah membaca ayat al-Quran tentang Nabi Ibrahim:
Wahai Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka sesiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan sesiapa yang menderhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ibrahim: 36)
Beliau kemudian membaca ayat tentang Nabi Isa yang telah berkata:
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(al-Maidah:118)
Beliau kemudian mengangkat kedua tangannya sambil berkata: “Wahai Tuhanku, Umatku! Umatku!” Sambil menangis.
Allah swt pun berfirman: “Wahai Jibril pergilah kepada Muhammad, beritahu kepadanya: Kami akan berikan apa yang engkau ridhoi dengan umatmu dan kami tidak akan menyusahkan-mu.”
[HR: Muslim]
Subhanallah, demikianlah tangis beliau, dikarenakan kelembutan dan kasih sayangnya, kepada umatnya, kita.
Lalu, sudahkah kita membalas kasih sayangnya itu, dengan selalu membenarkannya, beriman kepadanya, mengutamakan tuntunannya di atas tuntunan semua makhluk?
Tidaklah saling mencinta manusia di dunia, kecuali mereka akan berkumpul di akhirat.
“Engkau akan dikumpulkan bersama orang yang kau cintai” (HR. Bukhari)
Wallahu a'lam
فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَقُلۡ حَسۡبِىَ اللّٰ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ؕ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ ؕ وَهُوَ رَبُّ الۡعَرۡشِ الۡعَظِيۡمِ
128. Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
129. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung".
(at Taubah 128-129)
Kedua ayat ini adalah penutup surat at-Taubah.
Di antara kandungan surat at-Taubah adalah ketegasan ayat-ayatnya, dan kisah-kisah ujian berat yang terkandung di dalamnya.
Namun ditutupnya surat ini dengan sifat kasih sayang al Mustofa Muhammad saw, seolah ingin menunjukkan bahwa, kalaupun beliau bersifat tegas, atau ada tuntunan yang terasa berat, maka itu untuk kemashlahatan umatnya jua.
"Aku bagaikan seorang yang menyalakan api, setelah menyala menerangi sekeliling, laron mengitarinya dan terjerumus ke dalam api itu. Kalian seperti itu, tapi aku menghalangi kalian terjerumus ke api, tetapi sebagian kalian terjerumus juga". Dalam riwayat lain beliau bersabda, "Aku memegang ikat pinggang kalian, tetapi sebagian kalian terlepas dari peganganku". Demikianlah Nabi saw yang mulia memisalkan dirinya sebagaimana diriwayatkan al Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah.
Kata "jaa-akum rosul"(telah datang kepada kalian rosul), memberi kesan bahwa Muhammad saw datang atas kehendak beliau sendiri, bukan didatangkan (diutus) oleh Allah swt, tetapi, penyebutan kata "rosul" memberi kesan bahwa kedatangan beliau adalah sebagai utusan Allah.
Gabungan dari kedua kata ini, melahirkan sebuah kesan baru bahwa beliau tercipta dengan potensi kenabian, sehingga, saat beliau menerima wahyu Ilahi, beliau menjadi sosok yang tidak hanya sungguh-sungguh berdakwah, tapi juga senang dan berbahagia dalam mengajak dan mengayomi umat. Demikian lebih kurang kesan dari asy-Sya'rowi.
Kata "min anfusikum" (dari diri kalian sendiri), memberi kesan bahwa beliau adalah bagian dari manusia juga. Dapat merasa sedih pada hal-hal yang membuat manusia sedih, dan bergembira sebagaimana manusia juga bergembira. Ia, shallallahu 'alayhi wasallam, adalah kita juga.
Sebagaimana umatnya, manusia, merasakan beban dan kesulitan, maka beliau juga merasakannya, bahkan lebih dulu dari mereka.
Setelah menceritakan tentang empati Rasulullah, maka kisah berlanjut dengan kelembutan hati beliau, yang sesungguhnya, sangat menginginkan kebaikan bagi umatnya.
Karena itu, walaupun tuntunan itu terkadang terasa berat, beliau tetap menyampaikannya, demi kemashlahatan umatnya.
Kelembutan dan kasih sayang beliau, yang digambarkan dalam sifat "rouufur rahiim" (pengasih dan penyayang) adalah suatu karakteristik luar biasa dari Nabi kita.
Rauf, memiliki makna kasih sayang yang melimpah ruah bahkan melebihi kebutuhan penerimanya. Pakar bahasa az-Zajjaj mengatakan, apabila rahmat sedemikian besar maka ia dinamai "ra'fah", dan pelakunya disebut "rauuf".
Adapun menurut Quraish Shihab, tidak ditemukan seorang nabi pun di dalam Al Quran yang menyandang 2 sifat Allah sekaligus, kecuali Nabi Muhammad saw, yaitu sebagaimana disebutkan dalam ayat ini "rouufur rahiim". Namun perlu digarisbawahi bahwa kandungan sifat yang melekat pada manusia dan pada Allah, sangatlah berbeda, walaupun penyebutannya sama.
Ikhwah fillah, secara keseluruhan ayat 128 ini bercerita tentang kemuliaan dan begitu kasihnya beliau pada umatnya.
Abdullah bin ‘Amru ra meriwayatkan bahwa:
Rasulullah saw telah membaca ayat al-Quran tentang Nabi Ibrahim:
Wahai Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka sesiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan sesiapa yang menderhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ibrahim: 36)
Beliau kemudian membaca ayat tentang Nabi Isa yang telah berkata:
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(al-Maidah:118)
Beliau kemudian mengangkat kedua tangannya sambil berkata: “Wahai Tuhanku, Umatku! Umatku!” Sambil menangis.
Allah swt pun berfirman: “Wahai Jibril pergilah kepada Muhammad, beritahu kepadanya: Kami akan berikan apa yang engkau ridhoi dengan umatmu dan kami tidak akan menyusahkan-mu.”
[HR: Muslim]
Subhanallah, demikianlah tangis beliau, dikarenakan kelembutan dan kasih sayangnya, kepada umatnya, kita.
Lalu, sudahkah kita membalas kasih sayangnya itu, dengan selalu membenarkannya, beriman kepadanya, mengutamakan tuntunannya di atas tuntunan semua makhluk?
Tidaklah saling mencinta manusia di dunia, kecuali mereka akan berkumpul di akhirat.
“Engkau akan dikumpulkan bersama orang yang kau cintai” (HR. Bukhari)
Wallahu a'lam
Komentar
Posting Komentar