Langsung ke konten utama

Jangan Terlalu Bangga di Hadapan Allah


Dikisahkan oleh Imam Al-Ghazhali dalam Minhajul Abidin, bahwa suatu ketika Atha' As-Sulami rahimahullah menenun sebuah kain. Ia menenunnya dengan cermat dan teliti hingga akhirnya dibawalah kain itu ke pasar untuk ditawarkan.

 

Setelah dicek oleh pedagang kain, ternyata kain di itu dihargai murah di luar perkiraannya. Pedagang kain berkata kepadanya; "Kain ini ada kekurangannya, begini, dan begini". Seketika itu pula Atha' rahimahullah mengambil kainnya lalu terduduk dan menangis tersedu. Pedagang kain yang kasihan pun menghiburnya dengan mengatakan akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi.

 

Atha' pun menjawab;

"Aku menangis bukan karena seperti yang engkau kira. Aku telah berusaha keras membuat kain ini dengan cermat, memperbaiki segala kekuranganya, dan memperindahnya, sehingga tidak ada yang dapat dicela darinya. 

 

Namun ketika kain ini kuperlihatkan kepada seorang yang ahli, maka ia pun mengungkapkan kekurangannya, yang aku lengah darinya. Maka bagaimana dengan amal-amalku ketika kelak diperlihatkan di hadapan Allah Ta'ala, Dzat Yang Maha Teliti?  Berapa banyak cela dan kekurangan yang akan tampak dalam pandanganNya, yang sekarang aku lengah terhadapnya?"

 

Demikianlah Atha' As-Sulami rahimahullah mengingatkan kita agar tidak terlalu bangga dengan amal-amal kita.

 

Shalat kita mungkin cukup banyak sampai sebagian tidur kita korbankan untuknya. Tilawah Al-Quran pun entah sudah berapa kali berulang khataman. Infaq dan sedekah juga mungkin sudah sulit totalnya dijumlah. Tapi apakah kita yakin amal-amal itu tanpa cacat jika dihadapkan kepada Raja Yang Maha Cermat?

 

Jika Atha' rahimahullah begitu khawatir padahal ibadahnya selalu penuh kehati-hatian, maka bagaimana dengan ibadah yang sekedar mengejar jumlah?


Bukankah dengan shalat sekualitas Nabi saw pun, tetap istighfar yang diucapkan setelah salamnya?

 

Mengapa di akhir Ramadhan, ketika puasa dan tilawah sudah berhari-hari diamalkan, tapi dzikir yang dianjurkan adalah permintaan maaf kepada Ar-Rahman?

 

Mengakui ketidaksempurnaan ibadah adalah langkah awal mencegah 'ujub (sombong) di hadapanNya. Merasa tidak sempurna dalam beramal, adalah modal untuk tunduk, memohon kasih sayangNya dengan khusyu'.

 

Amal apa yang mau kita banggakan di hadapanNya, ketika tiket surga itu tidak pernah cukup dibeli dengan ibadah semata? ".....kecuali dengan rahmat dari Allah" (HR. Muslim no. 2187).

 

Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa Nabi saw berdoa di sebagian shalatnya;

اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا

"Ya Allah hisablah kami dengan hisab yang ringan. "

Ketika selesai shalat, Aisyah ra bertanya kepada beliau saw apa yang dimaksud dengan "hisab yang ringan"?

Lalu dijawab, "Seseorang yang Allah melihat catatan amalnya, lalu memaafkannya"... (HR. Ahmad 6/48).

 

Semoga Allah memaafkan kekurangan amal-amal kita.

اَللّٰهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ 

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, menyukai permintaan maaf, maka maafkanlah aku.




===

Sumber: https://asamuslim.id/berita/detail/jangan-terlalu-bangga-di-hadapan-allah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persamaan Umar bin Khattab dan Anak-Anak Kita

Dalam Hadits Imam Ad-Darimi no. 436, dikisahkan bahwa; Suatu ketika Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ia dalam kondisi bersemangat karena mendapatkan salinan Taurat. Namun Nabi justru menampakkan wajah tidak senang, bahkan Umar ditegur dengan keras. Apa persamaannya dengan anak-anak kita sekarang? Sama-sama tidak dianjurkan membaca sembarang sumber, sebelum iman tertanam kuat di dalam jiwa. Betul, anak-anak kita sekolahnya di islam terpadu, ngaji di sekolah setiap hari. Pun ditegakkan aturan menutup aurat selalu. Tapi juga rajin menyerap tontonan artis korea yang tampak glowing dengan busana terbuka, kata-kata kasar di postingan viral, juga bermain game yang padat konten pembunuhan dan pakaian seksi. Jika seorang sekelas Umar yang masih halaqoh langsung dengan sang Nabi saja masih dilarang dulu baca-baca Taurat sembarangan. Apakah seorang anak diperbolehkan "baca-baca" gadget sembarangan hanya karena sudah sek...

Kok Orang Tua Dulu Ga Belajar Parenting?

Orang tua sekarang harus belajar bagaimana bersikap ke anak, cara berbicara ke anak. Orang tua ga boleh marah ke anak, ga boleh banyak nyuruh, tapi harus paham kejiwaan anak. Orang tua juga harus paham perkembangan otak anak. Cara parenting ke anak usia 7 tahun beda dengan yang 12 tahun. Nanti kalau anak remaja beda lagi caranya. Jadi orang tua harus paham adab dan tata cara berinteraksi dengan anak. Apakah anak juga belajar "childrening"? Belajar gimana cara bersikap dan berbicara kepada orang tua? Atau qoulan karima kalau kata Al-Quran... Gimana adab ketika ditegur orang tua, dan sikap ketika orang tua menyuruh sesuatu? Kenapa anak ga belajar "childrening"? Karena anak fokus belajar akademik agar pintar. Rajin les dan ekskul agar berprestasi. Biar masa depan sukses, pekerjaan bergengsi, hidupnya mapan. Sedangkan orang tuanya harus rajin parenting, biar ga berbuat salah sama anak... Lalu, kenapa banyak orang tua dulu ga belajar parenting tapi anak-anak...

Ulama Ahlus Sunnah Pendukung Maulid

Berikut ini beberapa pendapat imam ahlus sunnah yang pro terhadap peringatan Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tidak dicantumkannya pendapat ulama yang kontra, karena biasanya pendapat tersebut sudah lebih banyak disebar. 1. Imam As-Suyuthi Pertanyaan: “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera untuk hamba pilihanNya, wa ba’d: telah datang pertanyaan tentang perbuatan maulid nabi pada bulan Rabi’ul Awwal, apa hukumnya menurut pandangan syariat? apakah itu terpuji atau tercela? apakah mendapatkan pahala atau tidak, bagi si pelakunya?”  Jawaban: Bagi saya, dasar dari maulid nabi adalah berkumpulnya manusia, membaca yang mudah dari Al Quran, dan membaca kisah-kisah yang warid  tentang konsepsi riwayat kehidupan  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan membaca apa-apa yang terjadi pada hari kelahirannya berupa tanda-tanda kemuliaannya, dan menyediakan makanan buat mereka, lalu selesai tanpa ada tambahan lain, maka itu adalah bid’ah hasanah, dan diberikan ...