Dikisahkan oleh Imam Al-Ghazhali dalam Minhajul Abidin, bahwa suatu ketika Atha' As-Sulami rahimahullah menenun sebuah kain. Ia menenunnya dengan cermat dan teliti hingga akhirnya dibawalah kain itu ke pasar untuk ditawarkan.
Setelah dicek oleh pedagang kain, ternyata kain di itu dihargai murah di luar perkiraannya. Pedagang kain berkata kepadanya; "Kain ini ada kekurangannya, begini, dan begini". Seketika itu pula Atha' rahimahullah mengambil kainnya lalu terduduk dan menangis tersedu. Pedagang kain yang kasihan pun menghiburnya dengan mengatakan akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi.
Atha' pun menjawab;
"Aku menangis bukan karena seperti yang engkau kira. Aku telah berusaha keras membuat kain ini dengan cermat, memperbaiki segala kekuranganya, dan memperindahnya, sehingga tidak ada yang dapat dicela darinya.
Namun ketika kain ini kuperlihatkan kepada seorang yang ahli, maka ia pun mengungkapkan kekurangannya, yang aku lengah darinya. Maka bagaimana dengan amal-amalku ketika kelak diperlihatkan di hadapan Allah Ta'ala, Dzat Yang Maha Teliti? Berapa banyak cela dan kekurangan yang akan tampak dalam pandanganNya, yang sekarang aku lengah terhadapnya?"
Demikianlah Atha' As-Sulami rahimahullah mengingatkan kita agar tidak terlalu bangga dengan amal-amal kita.
Shalat kita mungkin cukup banyak sampai sebagian tidur kita korbankan untuknya. Tilawah Al-Quran pun entah sudah berapa kali berulang khataman. Infaq dan sedekah juga mungkin sudah sulit totalnya dijumlah. Tapi apakah kita yakin amal-amal itu tanpa cacat jika dihadapkan kepada Raja Yang Maha Cermat?
Jika Atha' rahimahullah begitu khawatir padahal ibadahnya selalu penuh kehati-hatian, maka bagaimana dengan ibadah yang sekedar mengejar jumlah?
Bukankah dengan shalat sekualitas Nabi saw pun, tetap istighfar yang diucapkan setelah salamnya?
Mengapa di akhir Ramadhan, ketika puasa dan tilawah sudah berhari-hari diamalkan, tapi dzikir yang dianjurkan adalah permintaan maaf kepada Ar-Rahman?
Mengakui ketidaksempurnaan ibadah adalah langkah awal mencegah 'ujub (sombong) di hadapanNya. Merasa tidak sempurna dalam beramal, adalah modal untuk tunduk, memohon kasih sayangNya dengan khusyu'.
Amal apa yang mau kita banggakan di hadapanNya, ketika tiket surga itu tidak pernah cukup dibeli dengan ibadah semata? ".....kecuali dengan rahmat dari Allah" (HR. Muslim no. 2187).
Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa Nabi saw berdoa di sebagian shalatnya;
اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا
"Ya Allah hisablah kami dengan hisab yang ringan. "
Ketika selesai shalat, Aisyah ra bertanya kepada beliau saw apa yang dimaksud dengan "hisab yang ringan"?
Lalu dijawab, "Seseorang yang Allah melihat catatan amalnya, lalu memaafkannya"... (HR. Ahmad 6/48).
Semoga Allah memaafkan kekurangan amal-amal kita.
اَللّٰهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, menyukai permintaan maaf, maka maafkanlah aku.
===
Sumber: https://asamuslim.id/berita/detail/jangan-terlalu-bangga-di-hadapan-allah
Komentar
Posting Komentar