1⃣ Khalifah Umar bin Khattab mengambil zakat dari kuda yang tidak pernah dicontohkan Nabi shallallahu `alaihi wassalam, walaupun kuda telah biasa ada di Jazirah Arab bahkan sebelum masa kenabian.
[Lihat Naylul Authar 4/139]
2⃣ Khalifah Utsman bin Affan menambahkan adzan untuk Sholat Jumat, padahal tidak pernah dicontohkan di masa Nabi shallallahu `alaihi wasallam.
[HR. Bukhari no. 873]
3⃣ Imam Asy-Syafi’i biasa mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali. Ditambahkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa khataman tersebut dilakukan dalam shalat.
[Siyar A’lam An-Nubala’, 10: 36]
Hal ini tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam, bahkan ada hadits yang melarang mengkhatamkan lebih cepat dari 3 hari.
4⃣ Imam At-Tirmidzi dan Imam Al-Hakim berpendapat bahwa mengucapkan "shadaqallahul-`azhim" setelah selesai membaca Al-Quran merupakan salah satu bentuk adab membaca Al-Quran.
[Muqaddimah Tafsir Al-Qurthubi]
Hal ini padahal tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam.
5⃣ Para Imam di Masjidil Haram selalu memperpanjang doa qunut witirnya melebihi apa yang dicontohkan dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam.
6⃣ Banyak masjid membuat benda khusus untuk pembatas sholat (sutrah), padahal Nabi shallallahu `alaihi wasallam tidak pernah mencontohkannya.
Bahkan sebenarnya beliau saw menyuruh memakai garis saja bila tidak ada benda yang bisa dijadikan sutrah, bukan malah menciptakan benda khusus.
[HR. Ahmad, dihasankan Ibnu Rajab]
7⃣ Khutbah Jumat di berbagai negara, dilakukan dengan bahasa lokal, bukan bahasa Arab sebagaimana dicontohkan Nabi shallallahu `alaihi wasallam.
Padahal Khutbah Jumat adalah ibadah khusus yang menjadi bagian dari syarat sah Sholat Jumat.
===
Terjadinya amalan-amalan di atas tentu bukan karena hawa nafsu dan ketidakpahaman para imam dan ulama kaum muslimin.
Namun, dikarenakan perbedaan pemahaman terhadap dalil pelarangan bid`ah di satu sisi, dan pemanfaatan sumber hukum Islam lain selain As-Sunnah dalam menentukan suatu ibadah.
Dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam [II/204], Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam menyatakan:
“...metode untuk mengetahui hal ini adalah melihat hubungannya dengan kaidah-kaidah syari’ah. Jika masuk ke kaidah wajib, maka bid’ah tersebut menjadi wajib. Jika masuk ke kaidah pengharaman, maka ia menjadi haram. Jika masuk ke kaidah mandub, maka ia mandub. Jika masuk ke kaidah makruh, maka ia makruh. Dan jika masuk ke kaidah mubah, maka ia menjadi mubah.”
Beliau menyebutkan salah satu contoh bid’ah yang mubah adalah berjabat tangan setelah Sholat Shubuh dan ‘Ashar.
Inilah pendapat beliau, yang bergelar "Sulthanul `Ulama" (Sultan Para Ulama).
Tentu sah-sah saja tidak mengikuti pendapat beliau, mengkritik pendapat beliau, atau memaknai lain apa yang dijelaskan oleh beliau. Karena masalah bid`ah adalah khilafiyah ulama sejak masa lalu hingga sekarang.
Di satu sisi, persatuan umat, husnuzhon terhadap orang beriman, berlapang dada, adalah hal yang telah disepakati keutamaannya oleh para ulama.
Maka hendaknya, kita mendahulukan hal yang telah disepakati daripada meributkan yang masih tidak disepakati.
Wallahul musta`an
Komentar
Posting Komentar