[Belajar Muamalah-003]
Kondisi zaman yang tidak ideal membuat seorang muslim tidak jarang, terpaksa melakukan praktik muamalah yang diharamkan Allah.
Dalam kondisi seperti ini, kaidah fiqih yang dipakai para fuqoha adalah;
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
Kaidah fiqih ini disimpulkan dari firman Allah ta`ala;
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.”
(QS. Al Baqarah: 173)
Berdasarkan kaidah ini, maka seseorang diperbolehkan melakukan praktik muamalah yang aslinya terlarang, dengan 2 syarat:
1. Terpaksa
2. Hatinya tidak menginginkannya
3. Dilakukan sesuai kadar keterpaksaannya (tidak melampaui batas)
Contoh kasus:
Seorang nelayan perlu uang untuk memperbaiki perahunya yang rusak parah, sedangkan tidak ada yang bisa meminjamkannya uang di desa itu kecuali lembaga riba.
Maka halal baginya untuk memakai pinjaman riba tersebut agar perahunya bisa diperbaiki sehingga ia bisa menafkahi keluarganya. Syarat pertama; terpaksa, terpenuhi di sini.
Syarat kedua; hatinya tidak menginginkannya dipenuhi dengan meyakini dalam hati bahwa riba itu haram dan sebisa mungkin tidak membicarakan praktik ribanya kepada orang lain, sebagai tanda hatinya malu berbuat hal terlarang walaupun terpaksa.
Adapun sebagai syarat ketiga; tidak melampaui batas; tidak boleh baginya untuk aji mumpung sekalian pinjam uang untuk membeli hal-hal yang tidak darurat baginya (misal: menambah hiasan di perahunya, melengkapinya dengan TV LCD, dll).
Sungguh, Allah telah memudahkan agama ini bagi hamba-hambaNya, namun Dia tidak menyukai mereka yang melampaui batas.
Semoga Allah menjauhkan kita dari keterpaksaan bertransaksi haram.
Komentar
Posting Komentar