Langsung ke konten utama

FIQIH NGELAMUN (Bagian Pertama)

Selama kita diperintahkan “stay at home” kita banyak mempunyai waktu luang. Sholat, dzikir, baca Al qur’an, baca buku, beres beres rumah, olah raga ringan sudah dilakukan semua.

Ternyata waktu masih tersisa banyak, akhirnya mau nggak mau waktu yang tersisa dipakai  ngelamun.

Agar ngelamun tetap  memperoleh pahala, maka saya tawarkan untuk mempelajari “Fiqh Ngelamun”. Itu memang istilah saya sendiri, karena menurut saya semua aktifitas kita ada fiqhnya (diatur oleh agama). Saya juga ada materi fiqh tidur, fiqh istirahat bahkan fiqh mudik (di zaman corona) dan lain-lain.

Materi Fiqh Ngelamun ini saya ambil dari Kitab Nashoihul ‘Ibad, Syarh ‘ala al Munabihat ‘ala al Isti’dad li yaumil ma’ad (judul panjangnya itu, biasa disebut Nashoihul Ibad aja).  Kitab tersebut karangan Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi (dikenal dengan Imam Nawawi Al Bantani) beliau adalah kakek buyut dari Wapres K.H. Ma’ruf Amin.

Beliau adalah orang kelahiran Indonesia pertama yang diangkat menjadi Imam Masjidil Haram dan juga di juluki Al Sayyid Al Ulama Al Hijaz (Penghulu para ulama Hijaz/Arab Saudi) pada masa itu (abad 19). Cerita sedikit agar kita mengenal ulama.

Kalau kita mau ngelamun, agama kita mengajarkan agar ngelamun tentang lima hal ini, yaitu *Fikratu fii aayatillah, fikrotu fii alaaillah, fikrotu fi wa’dillah, fikrotu fii waiidillah dan fikrotu fii taqshiiri nafsihi ‘anith thoah*. 

Supaya nggak bosan bacanya (karena kepanjangan) tulisan ini saya bagi dua bagian.

*1.فكرة في ايات الله*
Fikratu fii aayatillah
Memikirkan Tanda Tanda Kekuasaan Allah.

Ummat Islam diperintahkan untuk  merenungkan atau memikirkan tanda tanda kekuasaan Allah. Sebagaimana dalam firmanNya di Surat Ali Imron ayat 190 -191:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

Dan juga di Surat Shod ayat 27

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ۚ ذَٰلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ

Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir; maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka.

Selain memperhatikan tanda tanda kekuasaan Allah yang bersifat makro kosmos, kita juga diperinthkan untuk melihat tanda tanda kekuasaan Allah yang ada dalam diri kita sendiri. Sebagaimana Firman Alla dalam surat  Adzariyat ayat 21

وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?”

Bagaimana jantung bisa berdetak terus, bagaimana system pencernaan kita mengurai makanan yang masuk ke tubuh kita, kemudian membagikan sesuai dengan kebutuhan badan kita.

Yang dimaksud dengan merenungi ayat-ayat Allah, ialah melihatnya, merenungi manfaat-manfaatnya, sehingga menghasilkan sebuah keyakinan yang mendalam bahwa hanya Allah Azza wa Jalla saja dzat satu-satunya yang menciptakan semua itu.

Dia-lah satu-satunya ilah yang berhak untuk disembah. Dia-lah satu-satunya ilah yang berhak ditakuti, ditaati, dan hanya Dia yang kita jadikan sebagai petunjuk, sebagai bukti keagungan dan kekuasaan-Nya. Dia tidak menciptakan semua itu dengan sia-sia.

*2.فكرة في الا ء الله*
*Fikratu fii alaaillah*
Memikirkan nikmat-nikmat Allah

Setiap saat dimanapun kita berada, kita tidak pernah menerima tidak menerima nikmat dari Allah. Tarikan nafas kita, degup jantung kita,  denyut nadi kita, kedipan mata kita  dan segala sesuatu yang dapat kita manfaatkan adalah nikmat Allah.

Begitu banyak nikmat Allah yang kita terima sehingga kita tidak sanggup menghitungnya.

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).

Di dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 278), diterangkan  “Jika kalian tidak mampu menghitungnya, lebih-lebih untuk mensyukuri semuanya (itu adalah suatu kedurhakaan). Namun kekurangan dan kedurhakaan kalian masih Allah maafkan (bagi yang mau bertaubat), Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dengan demikian tidak ada celah sedikitpun bagi kita untuk tidak bersyukur. Perlu kita sadari bahwa sebesar apapun rasa syukur kita tidak akan pernah sebanding dengan nikmat yang Allah berikan kepada kita.

Oleh karena itu rasa syukur kita harus kita iringi dengan istighfar (permohonan ampun) atas ketidakmampuan kita bersyukur dengan rasa syukur yang hakiki. Terlebih lagi kalau kita masih sering berkeluh kesah, seolah-olah melupakan nikmat yang sudah Allah berikan.

Uraian nomor tiga, empat dan lima akan disampaikan di bagian kedua

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Pondok Kelapa, 19 Sya’ban 1441 H. pukul 21.43 WIB

Wallahu a’lam
Tabik

Mohammad Rosyad

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa Wali Santri untuk Anak di Pondok

  (… sebutkan nama anak …)  اَللّٰهُمَّ ارْحَمْ اَللَّهُمَّ فَقِّهُّ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ اللَّهُمّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ اللَّهُمّ اجْعَلِ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبَهُ، وَنُوْرَ صَدْرَهُ، وَجَلاَءَ حُزْنَهُ، وَذَهَابَ هَمَّهُ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لَهُ شَأْنَهُ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْهُ إِلَى نَفْسِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ Artinya: “Ya Allah rahmatilah (nama anak), Ya Allah pahamkanlah ia agama-Mu, dan ajarkanlah tafsir kepadanya (1), Ya Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya (2), Ya Allah jadikanlah Al-Quran hiburan di hatinya, cahaya di dadanya, penghapus kesedihannya, dan penghilang kegelisahannya (3), Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon, perbaikilah segala urusan anakku, jangan serahkan kepada dirinya sendiri walau hanya sekejap mata (4). Ya Rabb, anugerahkanlah aku anak yang ...

PRINSIP TAISIR DALAM FIQIH MENURUT MANHAJ WASATH

Masjid Al Ghiffari IPB 8 Oktober 2017 Kajian rutin Ahad kedua Dr. Taufiq Hulaimi, Lc, MA Link rekaman video di youtube: #1: https://youtu.be/RAu9KP5ihq4 #2: https://youtu.be/ugKbRapphBI #3: https://youtu.be/bfbqMWPrKfM Prinsip pertama dalam manhaj al wasathiyah adalah at taysir. At taysir: *Fiqih dibuat mudah selama masih ada dalil yang mendukungnya.* Kebalikannya: At tasyaddud: Fiqih dibuat keras dan berat. AL WASATHIYAH Al Azhar Mesir mensosialisasikan prinsip al wasathiyah. *Al wasathiyah artinya di tengah.* Sesuatu yang terbaik. Wasathiyah kurang tepat jika diterjemahkan dengan kata 'moderat' tetapi lebih tepat diterjemahkan sebagai 'yang terbaik.' Manusia ada kecenderungan untuk menjadi terlalu keras atau terlalu cair. Islam tidak keduanya, tetapi di tengah. Dan biasanya *yang terbaik adalah yang di tengah.* Terlalu keras, segalanya tidak boleh, ekstrim kanan. Terlalu cair, segalanya boleh, ekstrim kiri. وَكَذَٰ...

Mahabbatullah II: Pupuk Cinta dan Tanda-Tanda Cinta

Melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang sebab-sebab Mahabbatullah, kali ini kita akan membahas tentang amalan yang dapat memupuk Mahabbatullah dan tanda-tanda Mahabbatullah dalam diri kita. Di antara amalan pemupuk cinta adalah; 1. Membaca dan merenungi surat-surat cinta-Nya Allah azza wajalla, telah mengirimkan surat-suratNya kepada kita melalui perantaraan utusanNya al Mustofa. Maka jalan pertama untuk mencintai-Nya adalah dengan membaca surat-surat itu. الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (al Baqarah 121) Dan tidak hanya membaca, tapi juga memperhatikan ayat-ayatnya dan mengkajinya. كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا...