Selama kita diperintahkan “stay at home” kita banyak mempunyai waktu luang. Sholat, dzikir, baca Al qur’an, baca buku, beres beres rumah, olah raga ringan sudah dilakukan semua.
Ternyata waktu masih tersisa banyak, akhirnya mau nggak mau waktu yang tersisa dipakai ngelamun.
Agar ngelamun tetap memperoleh pahala, maka saya tawarkan untuk mempelajari “Fiqh Ngelamun”. Itu memang istilah saya sendiri, karena menurut saya semua aktifitas kita ada fiqhnya (diatur oleh agama). Saya juga ada materi fiqh tidur, fiqh istirahat bahkan fiqh mudik (di zaman corona) dan lain-lain.
Materi Fiqh Ngelamun ini saya ambil dari Kitab Nashoihul ‘Ibad, Syarh ‘ala al Munabihat ‘ala al Isti’dad li yaumil ma’ad (judul panjangnya itu, biasa disebut Nashoihul Ibad aja). Kitab tersebut karangan Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi (dikenal dengan Imam Nawawi Al Bantani) beliau adalah kakek buyut dari Wapres K.H. Ma’ruf Amin.
Beliau adalah orang kelahiran Indonesia pertama yang diangkat menjadi Imam Masjidil Haram dan juga di juluki Al Sayyid Al Ulama Al Hijaz (Penghulu para ulama Hijaz/Arab Saudi) pada masa itu (abad 19). Cerita sedikit agar kita mengenal ulama.
Kalau kita mau ngelamun, agama kita mengajarkan agar ngelamun tentang lima hal ini, yaitu *Fikratu fii aayatillah, fikrotu fii alaaillah, fikrotu fi wa’dillah, fikrotu fii waiidillah dan fikrotu fii taqshiiri nafsihi ‘anith thoah*.
Supaya nggak bosan bacanya (karena kepanjangan) tulisan ini saya bagi dua bagian.
*1.فكرة في ايات الله*
Fikratu fii aayatillah
Memikirkan Tanda Tanda Kekuasaan Allah.
Ummat Islam diperintahkan untuk merenungkan atau memikirkan tanda tanda kekuasaan Allah. Sebagaimana dalam firmanNya di Surat Ali Imron ayat 190 -191:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
Dan juga di Surat Shod ayat 27
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ۚ ذَٰلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ
Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir; maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka.
Selain memperhatikan tanda tanda kekuasaan Allah yang bersifat makro kosmos, kita juga diperinthkan untuk melihat tanda tanda kekuasaan Allah yang ada dalam diri kita sendiri. Sebagaimana Firman Alla dalam surat Adzariyat ayat 21
وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Bagaimana jantung bisa berdetak terus, bagaimana system pencernaan kita mengurai makanan yang masuk ke tubuh kita, kemudian membagikan sesuai dengan kebutuhan badan kita.
Yang dimaksud dengan merenungi ayat-ayat Allah, ialah melihatnya, merenungi manfaat-manfaatnya, sehingga menghasilkan sebuah keyakinan yang mendalam bahwa hanya Allah Azza wa Jalla saja dzat satu-satunya yang menciptakan semua itu.
Dia-lah satu-satunya ilah yang berhak untuk disembah. Dia-lah satu-satunya ilah yang berhak ditakuti, ditaati, dan hanya Dia yang kita jadikan sebagai petunjuk, sebagai bukti keagungan dan kekuasaan-Nya. Dia tidak menciptakan semua itu dengan sia-sia.
*2.فكرة في الا ء الله*
*Fikratu fii alaaillah*
Memikirkan nikmat-nikmat Allah
Setiap saat dimanapun kita berada, kita tidak pernah menerima tidak menerima nikmat dari Allah. Tarikan nafas kita, degup jantung kita, denyut nadi kita, kedipan mata kita dan segala sesuatu yang dapat kita manfaatkan adalah nikmat Allah.
Begitu banyak nikmat Allah yang kita terima sehingga kita tidak sanggup menghitungnya.
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).
Di dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 278), diterangkan “Jika kalian tidak mampu menghitungnya, lebih-lebih untuk mensyukuri semuanya (itu adalah suatu kedurhakaan). Namun kekurangan dan kedurhakaan kalian masih Allah maafkan (bagi yang mau bertaubat), Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dengan demikian tidak ada celah sedikitpun bagi kita untuk tidak bersyukur. Perlu kita sadari bahwa sebesar apapun rasa syukur kita tidak akan pernah sebanding dengan nikmat yang Allah berikan kepada kita.
Oleh karena itu rasa syukur kita harus kita iringi dengan istighfar (permohonan ampun) atas ketidakmampuan kita bersyukur dengan rasa syukur yang hakiki. Terlebih lagi kalau kita masih sering berkeluh kesah, seolah-olah melupakan nikmat yang sudah Allah berikan.
Uraian nomor tiga, empat dan lima akan disampaikan di bagian kedua
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Pondok Kelapa, 19 Sya’ban 1441 H. pukul 21.43 WIB
Wallahu a’lam
Tabik
Mohammad Rosyad
Komentar
Posting Komentar