Dalam muamalah, kaidah mengatakan; segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang melarangnya. Karena itu, pembahasan fiqh muamalah hendaknya dimulai dari hal-hal yang terlarang. Karena dengan mengetahuinya, maka kita akan mengetahui pula bahwa selain itu adalah boleh.
Di antara bentuk transaksi yang terlarang adalah Gharar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang gharar sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Hurairah:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar"
Secara jenisnya, jual beli gharar terbagi 3;
1. Jual beli yang belum ada barangnya. Contoh: jual beli janin dalam hewan ternak.
2. Jual beli barang yang tidak jelas. Contoh: jual beli mainan dalam kotak yang tidak diketahui spesifikasinya.
3. Jual beli barang yang tidak bisa diserahterimakan. Contoh: jual beli burung yang masih terbang di langit.
Lebih jauh lagi, gharar juga terjadi dalam transaksi di pusat-pusat bermain anak-anak di mall. Contohnya adalah permainan games di mana seorang anak harus memasukkan sebuah koin lalu ia menekan tombol yang membuat bola bergerak secara acak. Jika bola berhenti pada tanda hadiah tertentu, maka itulah hadiah untuk si anak. Ini adalah ketidakjelasan dalam transaksi.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang menjual dengan lemparan kerikil.
Yang dimaksud menjual dengan lemparan kerikil sebagaimana dijelaskan dalam para ulama adalah seorang pembeli melempar kerikil ke arah barang dagangan (mis. baju), dan baju mana saja yang terkena menjadi miliknya dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya.
Tapi bukankah kalau sama-sama rela tidak mengapa tanpa spesifikasi yang jelas?
Memang dalam surat an-Nisa ayat 29 disebutkan bahwa jual beli itu harus dilakukan dengan rela sama rela, sehingga jual beli/ akad di mana salah satu terpaksa dalam melakukannya, menjadikannya tidak sah. Namun perlu diingat dalam urusan halal-haram, rela sama rela tidak langsung menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Seperti bunga bank, walaupun peminjam rela membayar bunga dan pemberi pinjaman rela diberi bunga, bunga bank tetaplah haram. Contoh yang lebih ekstrim adalah masalah zina, walaupun rela sama rela, tetap dosa bukan?
Namun perlu diketahui, memang ada gharar yang diperbolehkan, jika unsur ketidakjelasan itu sedikit dan ia mengikut pada bagian utama dari barang yang dijual. Hal ini seperti disampaikan Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Beliau menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan, karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya (Syarh Shahih Muslim).
Wallahu a'lam
Di antara bentuk transaksi yang terlarang adalah Gharar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang gharar sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Hurairah:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar"
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah memaknai al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya
(majhul al-‘aqibah). Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah
al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Masalah ini
menyangkut banyak bagian dalam transaksi ekonomi. Karena itu Imam Nawawi
mengatakan, "Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dalam kitab
jual beli, karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang
masuk dalam jual beli jenis ini sangat banyak dan tidak terhitung"
Secara jenisnya, jual beli gharar terbagi 3;
1. Jual beli yang belum ada barangnya. Contoh: jual beli janin dalam hewan ternak.
2. Jual beli barang yang tidak jelas. Contoh: jual beli mainan dalam kotak yang tidak diketahui spesifikasinya.
3. Jual beli barang yang tidak bisa diserahterimakan. Contoh: jual beli burung yang masih terbang di langit.
Lebih jauh lagi, gharar juga terjadi dalam transaksi di pusat-pusat bermain anak-anak di mall. Contohnya adalah permainan games di mana seorang anak harus memasukkan sebuah koin lalu ia menekan tombol yang membuat bola bergerak secara acak. Jika bola berhenti pada tanda hadiah tertentu, maka itulah hadiah untuk si anak. Ini adalah ketidakjelasan dalam transaksi.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang menjual dengan lemparan kerikil.
Yang dimaksud menjual dengan lemparan kerikil sebagaimana dijelaskan dalam para ulama adalah seorang pembeli melempar kerikil ke arah barang dagangan (mis. baju), dan baju mana saja yang terkena menjadi miliknya dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya.
Tapi bukankah kalau sama-sama rela tidak mengapa tanpa spesifikasi yang jelas?
Memang dalam surat an-Nisa ayat 29 disebutkan bahwa jual beli itu harus dilakukan dengan rela sama rela, sehingga jual beli/ akad di mana salah satu terpaksa dalam melakukannya, menjadikannya tidak sah. Namun perlu diingat dalam urusan halal-haram, rela sama rela tidak langsung menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Seperti bunga bank, walaupun peminjam rela membayar bunga dan pemberi pinjaman rela diberi bunga, bunga bank tetaplah haram. Contoh yang lebih ekstrim adalah masalah zina, walaupun rela sama rela, tetap dosa bukan?
Namun perlu diketahui, memang ada gharar yang diperbolehkan, jika unsur ketidakjelasan itu sedikit dan ia mengikut pada bagian utama dari barang yang dijual. Hal ini seperti disampaikan Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Beliau menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan, karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya (Syarh Shahih Muslim).
Wallahu a'lam
Komentar
Posting Komentar