Langsung ke konten utama

Riba, Makna dan Larangannya

Riba dari segi bahasa berarti tambahan. Ia juga bisa berarti tumbuh, atau membesar.

Adapun para ulama mendefinisikan riba sbb:

Imam Malik meriwayatkan kepadaku bahwa beliau mendengar ‘Abdullah ibn Mas’ud pernah berkata, “Jika seseorang membuat pinjaman, mereka tak boleh menetapkan perjanjian lebih dari itu. Meski hanya segenggam rumput, itu adalah riba.” (Al-Muwatta Imam Malik : 31.44.95)

Imam Mujahid berkata :
“(Riba yang diharamkan pada masa jahiliyyah) adalah seseorang berutang pada orang lain, lalu si peminjam berkata, ‘Bagimu (tambahan) sekian dan sekian, dan berilah aku tempo’. Maka dia diberi tempo” (Tafsir at-Thabari, III:101)

Imam Qatadah berkata
“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo (kredit) hingga waktu tertentu. Apabila telah jatuh tempo dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran atas penangguhan” (Tafsir at-Thabari, III:101)

Muhamad al-Qadhuri berkata:
“Riba adalah faidah atau tambahan yang diambil dari pinjaman” (Dalilul Musthalahatil Fiqhiyyah:70)

Yang disampaikan di atas adalah apa yang disebut dengan Riba Nasiah. Selain itu ada yang disebut pula dengan Riba Fadhl

Yaitu menjual alat tukar sejenis dengan adanya tambahan. Contoh pada musim lebaran suka ada calo yang menukarkan uang receh, 100 ribu ditukar pecahan 5rb tapi total nilainya hanya 95rb. ini termasuk transaksi ribawi. 

Benda yang dilarang dalam riba fadhl dibatasi dalam hadits shahih sbb: emas dan perak (uang), dan bahan makanan pokok.
Benda-benda tersebut hanya boleh diperjualbelikan secara kontan

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587)
Haramnya riba sudah jelas disebutkan dalam alQuran dan asSunnah.

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
 
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah  disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang datang kepadanya peringatan dari Allah. Lalu ia berhenti  maka  baginya  adalah  apa  yang telah berlalu  dan urusannya  adalah  kepada Allah dan barang siapa yang kembali lagi, maka  mereka  adalah penghuni  neraka yang kekal di dalamnya. Allah akan menghapus riba dan melipat gandakan sedekah dan Allah tidak suka kepada orang-orang kafir lagi pendosa”.
 (QS. Al-Baqarah : 275- 276)

Orang-orang yang kembali mengambil riba padahal peringatan telah datang kepada mereka, diancam dengan kekekalan di neraka.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
 
“Hai orang-orang yang  beriman, bertakwalah  kepada Allah  dan  tinggalkanlah  sisa-sisa  riba. jika  memang  kamu  orang  yang  beriman.  Jika  kamu  tidak melakukannya,   maka   terimalah   pernyataan   perang   dari Allah  dan  rasul  Nya  dan  jika  kalian  bertobat  maka  bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak  pula  dizalimi”. 
(QS. Al-Baqarah : 278- 279)

Orang-orang yang tidak mau meninggalkan riba, maka akan menjadi musuh (diperangi) Allah dan Rasul-Nya. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang merusak.” Ada yang bertanya, “Ya Rasulullah, apa tujuh hal itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, makan harta anak yatim, makan riba, lari dari medan pertempuran dan menuduh berzina wanita-wanita yang terjaga (dari berzina) yang lalai dan beriman.”
(HR. Muslim)

Dari hadis ini jelas bahwa riba adalah dosa besar, karena dikelompokkan dengan syirik, membunuh, zina, dan lainnya.

"(Dosa) riba itu memiliki tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan ialah semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri."
(HR. Ath-Thabrany dan lainnya serta dishahihkan oleh al-Albani)

“Satu dirham riba yang dimakan oleh seorang laki-laki, sementara ia tahu, lebih berat daripada 36 pelacur” (HR. Ahmad, disebutkan dalam Naylul Authar)

Dua hadits di atas menjelaskan keburukan riba yang jauh melebihi zina. Seseorang yang benci menjadi pelacur untuk mengumpulkan harta, maka hendaknya lebih benci bertransaksi riba dalam mengumpulkan harta.

Dan diriwayatkan dari Jabir radhiallahu ‘anhu,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, pembayarnya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan, “Mereka itu sama saja”.
(HR. Muslim)

Hadits ini sesuai dengan firman-Nya,

ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya
(QS. Al-Mâidah: 2)

Maka jelaslah bagi orang-orang beriman, bahwa tidak ada pilihan bagi mereka, kecuali berusaha sekuat tenaga, dengan sesungguh-sungguhnya, agar riba tidak duduk manis di samping akad-akad muamalah mereka, dan agar riba tidak menyelinap dalam lembaran-lembaran kontrak keuangan mereka.

Memang, Nabi shallallahu 'alayhi wasallam telah meramalkan kedatangan zaman di mana riba sulit dihindari.

“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya,” (HR Ibnu Majah dan Abu Dawud)

Tapi tentu saja, yang tidak peduli bahkan menikmatinya dengan yang berusaha mati-matian menghindarinya, keduanya memiliki kedudukan yang sangat, sangat berbeda di hadapan Allah.

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman yang pada waktu itu orang tidak memperdulikan lagi harta yang diperolehnya, apakah dari jalan halal atau dari jalan haram.”
(HR. Bukhari)

Yang menarik adalah, pengharaman riba ternyata juga ada dalam agama-agama maupun pemikiran lain. Agama yahudi mengharamkan secara tegas baik dalam Perjanjian Lama maupun Undang-Undang Talmud. Hal ini disebutkan dalam Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25, Kitab Deuteronomy (Ulangan) 23:19, dan Kitab Levicitus (Imamat) 25:36-37.

Dalam agama Nasrani, pelarangan riba dianggap tidak terlalu tegas sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan pendeta kristen. Ayat yang mengecam praktik riba namun dianggap multitafsir ada di Lukas 6:34-35.

Di India Kuno hukum yang berdasarkan Weda, kitab suci tertua agama Hindu, mengutuk riba sebagai sebuah dosa besar dan melarang operasi bunga (Gopal, 1935: Rangaswani, 1927)

Dalam pemikiran filsafat, riba mendapat kritikan keras. Meskipun riba ada di masa Yunani dan Romawi, prakteknya dikecam oleh para ahli filsafat seperti Plato, Aristoteles, Cato, dll. Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang yang mengambil riba.

Dari sana kita bisa melihat bahwa riba adalah sesuatu yang bertentangan dengan fitrah ilahiyah. Karena memang riba, secara logika dan fakta dapat merusak keadilan dan kestabilan ekonomi. Sejarah telah membuktikan, setiap krisis ekonomi besar yang terjadi, maka sumbernya adalah transaksi ribawi. Maka, tidaklah para penyeru sistem riba itu memiliki landasan yang sebenarnya, kecuali hawa nafsu belaka.


Wallahul musta'an
Wallahu a'lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persamaan Umar bin Khattab dan Anak-Anak Kita

Dalam Hadits Imam Ad-Darimi no. 436, dikisahkan bahwa; Suatu ketika Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ia dalam kondisi bersemangat karena mendapatkan salinan Taurat. Namun Nabi justru menampakkan wajah tidak senang, bahkan Umar ditegur dengan keras. Apa persamaannya dengan anak-anak kita sekarang? Sama-sama tidak dianjurkan membaca sembarang sumber, sebelum iman tertanam kuat di dalam jiwa. Betul, anak-anak kita sekolahnya di islam terpadu, ngaji di sekolah setiap hari. Pun ditegakkan aturan menutup aurat selalu. Tapi juga rajin menyerap tontonan artis korea yang tampak glowing dengan busana terbuka, kata-kata kasar di postingan viral, juga bermain game yang padat konten pembunuhan dan pakaian seksi. Jika seorang sekelas Umar yang masih halaqoh langsung dengan sang Nabi saja masih dilarang dulu baca-baca Taurat sembarangan. Apakah seorang anak diperbolehkan "baca-baca" gadget sembarangan hanya karena sudah sek...

Kok Orang Tua Dulu Ga Belajar Parenting?

Orang tua sekarang harus belajar bagaimana bersikap ke anak, cara berbicara ke anak. Orang tua ga boleh marah ke anak, ga boleh banyak nyuruh, tapi harus paham kejiwaan anak. Orang tua juga harus paham perkembangan otak anak. Cara parenting ke anak usia 7 tahun beda dengan yang 12 tahun. Nanti kalau anak remaja beda lagi caranya. Jadi orang tua harus paham adab dan tata cara berinteraksi dengan anak. Apakah anak juga belajar "childrening"? Belajar gimana cara bersikap dan berbicara kepada orang tua? Atau qoulan karima kalau kata Al-Quran... Gimana adab ketika ditegur orang tua, dan sikap ketika orang tua menyuruh sesuatu? Kenapa anak ga belajar "childrening"? Karena anak fokus belajar akademik agar pintar. Rajin les dan ekskul agar berprestasi. Biar masa depan sukses, pekerjaan bergengsi, hidupnya mapan. Sedangkan orang tuanya harus rajin parenting, biar ga berbuat salah sama anak... Lalu, kenapa banyak orang tua dulu ga belajar parenting tapi anak-anak...

Ulama Ahlus Sunnah Pendukung Maulid

Berikut ini beberapa pendapat imam ahlus sunnah yang pro terhadap peringatan Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tidak dicantumkannya pendapat ulama yang kontra, karena biasanya pendapat tersebut sudah lebih banyak disebar. 1. Imam As-Suyuthi Pertanyaan: “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera untuk hamba pilihanNya, wa ba’d: telah datang pertanyaan tentang perbuatan maulid nabi pada bulan Rabi’ul Awwal, apa hukumnya menurut pandangan syariat? apakah itu terpuji atau tercela? apakah mendapatkan pahala atau tidak, bagi si pelakunya?”  Jawaban: Bagi saya, dasar dari maulid nabi adalah berkumpulnya manusia, membaca yang mudah dari Al Quran, dan membaca kisah-kisah yang warid  tentang konsepsi riwayat kehidupan  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan membaca apa-apa yang terjadi pada hari kelahirannya berupa tanda-tanda kemuliaannya, dan menyediakan makanan buat mereka, lalu selesai tanpa ada tambahan lain, maka itu adalah bid’ah hasanah, dan diberikan ...