Langsung ke konten utama

ar-Ridho

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ
 
"Dan di antara manusia ada orang yang menjual dirinya karena mengharap keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya." (al Baqarah 216)

Berpegangnya kita pada kalimatullah, yaitu kalimat tauhid atau syahadat, diibaratkan sebagai keridhoan kita dalam menjual jiwa kita kepada Allah, karena kita mencari ridho-Nya.

Hal ini sangat berbeda dengan mereka yang menyerukan kalimat kekafiran, sebagai mana diangkat dalam rangkaian ayat-ayat ini, yang dimulai dari ayat 204.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ




"Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras." (ayat 204).

Mereka adalah penentang yang paling keras terhadap seruan kalimatullah. Mereka seolah telah menjual diri mereka, karena mengharapkan keridhoan pada apa yang ada di dunia.

Syahadat kita adalah kontrak kita kepada Allah. Sesuatu yang telah dikontrakkan pada suatu pihak, maka tidak bisa lagi dijual/dikontrakkan pada pihak yang lain. Maka konsekuensi dari syahadat kita adalah kita ridho pada transaksi ini, pada kontrak yang telah dinyatakan dengan hati kita, terhadap Allah azza wajalla.

Ridho, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi, bermakna "merasa cukup dan puas dengannya, dan tidak menghendaki selain darinya" (Syarh Shahih Muslim)

Keridhoan yang terkandung dalam syahadat kita, mencakup keridhoan atas 3 hal;

1. Ridho  kepada Allah sebagai Rabb
Kita ridho bahwa Allah adalah Tuhan yang satu, tidak ada selainNya. Maka kita merasa cukup dan puas dengan menyembah padaNya, dan tidak menghendaki selain dariNya (al Bayyinah 5).

Ridho kepada Allah berarti meyakini Allah sebagai pengatur dan pembimbing hidupnya yang senantiasa menyayanginya. Karena itu seluruh aktivitas hidupnya diarahkan untuk mencari keridhoan-Nya.
2. Ridho kepada Islam sebagai agama kita.
Kita ridho, bahwa Islam telah disempurnakan untuk kita (al Maidah 3). Maka kita merasa cukup dan puas dengannya, dan tidak menghendaki agama dan pemahaman selainnya. 

Ridho kepada Islam berarti meyakini Islam sebagai aturan dalam kehidupannya, yang bersumber dari Pencipta kehidupan itu sendiri. Meyakini bahwa Islam sebagai aturan yang lengkap dan sempurna. Maka kita mengamalkannya dari sisi akhlak, aqidah, ibadah, muamalah ekonomi, politik maupun sosialnya. Semua kita jalankan dengan penuh kerelaan.

3. Ridho kepada Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul-Nya
Kita ridho bahwa Muhammad saw adalah utusanNya. Maka kita merasa cukup dan puas dengan meneladaninya (al Ahzab 21), dan kita tidak menghendaki selain risalah yang dibawanya.

Ridho kepada Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul berarti meyakini bahwa contoh dan teladan kehidupan itu ada pada beliau. Maka kita rela, semua langkah dan tindakan kita disesuaikan dengan bimbingan darinya.


Ridho adalah buah dari kecintaan seorang mukmin. Maka ridho adalah kerelaan yang menggembirakan hati, bukan kerelaan yang dipaksakan. Oleh karena itu, ridho yang sempurna kepada kepada Allah, Islam, dan Nabi Muhammad, akan mendatangkan kelezatan iman.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

 ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً

Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha kepada Allah  sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya (HR. Muslim)

Maksud dari kelezatan iman adalah ketika seorang muslim merasakan kenikmatan dalam taat kepadaNya, mengamalkan Islam sebagai tuntunan hidupnya, dan meneladani Nabinya. Maka ia pun benci  dan resah pada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.

Mereka yang merasakan kelezatan iman ini akan merasakan nikmat dalam sholat dan ibadahnya, dan sebaliknya resah saat berlambat-lambat menjalankannya. 

Hatinya gembira dalam mencukupkan muamalah yang halal baginya, dan sebaliknya gundah dalam godaan riba dan muamalah haram lainnya.

Jiwanya tenteram bersama akhlaq mulia dalam bermasyarakat dan sebaliknya gusar ketika tanpa adab.

Inilah ciri-ciri orang yang benar syahadatnya. Sebagaimana para sahabat yang digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya:


وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

"Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (al-Hujurat 7).

Allahumma habbib ilaynal imaan wa zayyinhu fii quluubinaa, wa karrih ilaynal kufro wal fusuuqo wal 'ishyaan, waj'alnaa minal roosyidiin

Ya Allah, jadikahlah kami cinta pada keimanan dan indahkahlah iman itu dalam hati kami, dan jadikanlah kami benci pada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan, dan jadikanlah kami bagian dari orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.
  


Wallahul musta'an
Wallahu a'lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persamaan Umar bin Khattab dan Anak-Anak Kita

Dalam Hadits Imam Ad-Darimi no. 436, dikisahkan bahwa; Suatu ketika Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ia dalam kondisi bersemangat karena mendapatkan salinan Taurat. Namun Nabi justru menampakkan wajah tidak senang, bahkan Umar ditegur dengan keras. Apa persamaannya dengan anak-anak kita sekarang? Sama-sama tidak dianjurkan membaca sembarang sumber, sebelum iman tertanam kuat di dalam jiwa. Betul, anak-anak kita sekolahnya di islam terpadu, ngaji di sekolah setiap hari. Pun ditegakkan aturan menutup aurat selalu. Tapi juga rajin menyerap tontonan artis korea yang tampak glowing dengan busana terbuka, kata-kata kasar di postingan viral, juga bermain game yang padat konten pembunuhan dan pakaian seksi. Jika seorang sekelas Umar yang masih halaqoh langsung dengan sang Nabi saja masih dilarang dulu baca-baca Taurat sembarangan. Apakah seorang anak diperbolehkan "baca-baca" gadget sembarangan hanya karena sudah sek...

Kok Orang Tua Dulu Ga Belajar Parenting?

Orang tua sekarang harus belajar bagaimana bersikap ke anak, cara berbicara ke anak. Orang tua ga boleh marah ke anak, ga boleh banyak nyuruh, tapi harus paham kejiwaan anak. Orang tua juga harus paham perkembangan otak anak. Cara parenting ke anak usia 7 tahun beda dengan yang 12 tahun. Nanti kalau anak remaja beda lagi caranya. Jadi orang tua harus paham adab dan tata cara berinteraksi dengan anak. Apakah anak juga belajar "childrening"? Belajar gimana cara bersikap dan berbicara kepada orang tua? Atau qoulan karima kalau kata Al-Quran... Gimana adab ketika ditegur orang tua, dan sikap ketika orang tua menyuruh sesuatu? Kenapa anak ga belajar "childrening"? Karena anak fokus belajar akademik agar pintar. Rajin les dan ekskul agar berprestasi. Biar masa depan sukses, pekerjaan bergengsi, hidupnya mapan. Sedangkan orang tuanya harus rajin parenting, biar ga berbuat salah sama anak... Lalu, kenapa banyak orang tua dulu ga belajar parenting tapi anak-anak...

Ulama Ahlus Sunnah Pendukung Maulid

Berikut ini beberapa pendapat imam ahlus sunnah yang pro terhadap peringatan Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tidak dicantumkannya pendapat ulama yang kontra, karena biasanya pendapat tersebut sudah lebih banyak disebar. 1. Imam As-Suyuthi Pertanyaan: “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera untuk hamba pilihanNya, wa ba’d: telah datang pertanyaan tentang perbuatan maulid nabi pada bulan Rabi’ul Awwal, apa hukumnya menurut pandangan syariat? apakah itu terpuji atau tercela? apakah mendapatkan pahala atau tidak, bagi si pelakunya?”  Jawaban: Bagi saya, dasar dari maulid nabi adalah berkumpulnya manusia, membaca yang mudah dari Al Quran, dan membaca kisah-kisah yang warid  tentang konsepsi riwayat kehidupan  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan membaca apa-apa yang terjadi pada hari kelahirannya berupa tanda-tanda kemuliaannya, dan menyediakan makanan buat mereka, lalu selesai tanpa ada tambahan lain, maka itu adalah bid’ah hasanah, dan diberikan ...