Keadaan seorang yang beriman hendaknya selalu berputar di 4 titik, yaitu;
1. menuntut ilmu (agama)
2. mengamalkan ilmunya,
3. mendakwahkan ilmunya
4. bersabar dalam menjalani semuanya.
Menuntut ilmu (agama) menjadi keharusan, karena orang-orang Nasrani disebut tersesat (al-Fatihah: 7) disebabkan beramal tanpa ilmu. Adapun mengamalkan ilmu menjadi sangat penting karena orang-orang Yahudi dimurkai (al-Fatihah: 7) disebabkan berilmu tapi tidak beramal. Sedangkan mendakwahkan ilmu adalah ciri umat terbaik (Ali Imran :110). Dan semua itu dikunci dengan "sabar", kunci keihlasan dan keistiqomahan yang membuat seseorang tetap bersama sang Khalik (al-Baqarah 153).
Ingatlah, bahwa ilmu Islam itu sangat luas, maka sudahkah kita menuntutnya dengan baik? Contoh, di antara ilmu yang tidak diberikan haknya adalah ilmu muamalah dalam Islam. Bukankah 'Umar bin Khattab telah berkata:
لا يبع في سوقنا الا من قد تفقه في الدين
“Tidak boleh berjual-beli di pasar kami, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (HR. at-Tirmizi).
Maka hendaklah para pencari nafkah di pasar dan di kantor-kantor bertanya pada diri mereka, sudahkah saya faqih dalam ilmu muamalah?
Ingatlah, ilmu yang telah kita peroleh memiliki hak untuk diamalkan. Telah shahih riwayat para sahabat yang terbiasa belajar ayat sedikit demi sedikit agar dapat mengamalkannya. Maka berhati-hatilah terhadap godaan setan untuk ikut pengajian di sana-sini, namun hari-hari kita jauh dari pengamalan hanya karena kita sibuk ikut kajian.
Ingatlah, ilmu juga punya haknya untuk didakwahkan (al-Maidah: 79). Hak didakwahkannya ilmu tidak terkait langsung dengan hak diamalkannya ilmu. Karena itu, mereka yang belum bisa mengamalkan ilmu tidak berarti tidak boleh mendakwahkannya. Apakah seorang ustadz yang belum mampu berangkat haji ke baitullah terlarang untuk menyampaikan anjuran dan fikih tentang haji? Akal sehat kita tentu akan menjawab tidak.
Namun, dakwah yang didahului amal akan lebih terasa dan menyentuh jiwa. Jika kita punya "ilmu" tentang sebuah restoran enak, maka yang pertama terjadi adalah kita tertarik untuk "mengamalkan" makan di restoran enak tersebut. Setelah kita merasakan kenikmatan yang luar biasa di restoran enak tersebut, maka kita akan tertarik untuk berbagi informasi, "berdakwah" tentang restoran enak tersebut pada orang-orang terdekat kita.
Itulah dakwah, ilmu tentang sesuatu dalam Islam, yang telah kita amalkan sehingga kita merasakan kenikmatan yang amat sangat, saking nikmatnya hingga kita ingin orang-orang terdekat kita juga menikmati kenikmatan dalam amal tersebut. Ya, itulah dakwah.
Ingatlah, sabar adalah keniscayaan dalam setiap langkah keimanan kita.
Lebih lanjut lagi, kita bisa melihat kaitan surat al-'Ashr dengan siklus hidup muslim sebagaimana disebutkan di atas.
"...kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran."
Iman adalah pembungkus, dan 'amal sholeh menjadi wujud dari 2 titik pertama, ilmu dan amal. Karena amal tidak akan jadi sholeh tanpa ilmu.
Saling menasehati dalam kebenaran menjadi kata lain dari titik dakwah, sedangkan titik sabar telah diungkapkan dengan langsung, sebagai bagian dari siklus yang menjauhkan seorang muslim (manusia) dari kerugian.
Sungguh, Allah telah memuliakan al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i yang telah berkata, "seandainya al-Quran diturunkan dengan 1 surat, maka cukuplah surat al-'ashr", aw kama qoola asy-Syafi'i rahimahullah (atau kira-kira demikianlah asy-Syafi'i telah berkata).
Ilmu, amal, dakwah, dan sabar, semoga demikianlah perputaran kehidupan kita, hingga ruh berpisah dari jasad.
Wallahul-musta'an
1. menuntut ilmu (agama)
2. mengamalkan ilmunya,
3. mendakwahkan ilmunya
4. bersabar dalam menjalani semuanya.
Menuntut ilmu (agama) menjadi keharusan, karena orang-orang Nasrani disebut tersesat (al-Fatihah: 7) disebabkan beramal tanpa ilmu. Adapun mengamalkan ilmu menjadi sangat penting karena orang-orang Yahudi dimurkai (al-Fatihah: 7) disebabkan berilmu tapi tidak beramal. Sedangkan mendakwahkan ilmu adalah ciri umat terbaik (Ali Imran :110). Dan semua itu dikunci dengan "sabar", kunci keihlasan dan keistiqomahan yang membuat seseorang tetap bersama sang Khalik (al-Baqarah 153).
Ingatlah, bahwa ilmu Islam itu sangat luas, maka sudahkah kita menuntutnya dengan baik? Contoh, di antara ilmu yang tidak diberikan haknya adalah ilmu muamalah dalam Islam. Bukankah 'Umar bin Khattab telah berkata:
لا يبع في سوقنا الا من قد تفقه في الدين
“Tidak boleh berjual-beli di pasar kami, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (HR. at-Tirmizi).
Maka hendaklah para pencari nafkah di pasar dan di kantor-kantor bertanya pada diri mereka, sudahkah saya faqih dalam ilmu muamalah?
Ingatlah, ilmu yang telah kita peroleh memiliki hak untuk diamalkan. Telah shahih riwayat para sahabat yang terbiasa belajar ayat sedikit demi sedikit agar dapat mengamalkannya. Maka berhati-hatilah terhadap godaan setan untuk ikut pengajian di sana-sini, namun hari-hari kita jauh dari pengamalan hanya karena kita sibuk ikut kajian.
Ingatlah, ilmu juga punya haknya untuk didakwahkan (al-Maidah: 79). Hak didakwahkannya ilmu tidak terkait langsung dengan hak diamalkannya ilmu. Karena itu, mereka yang belum bisa mengamalkan ilmu tidak berarti tidak boleh mendakwahkannya. Apakah seorang ustadz yang belum mampu berangkat haji ke baitullah terlarang untuk menyampaikan anjuran dan fikih tentang haji? Akal sehat kita tentu akan menjawab tidak.
Namun, dakwah yang didahului amal akan lebih terasa dan menyentuh jiwa. Jika kita punya "ilmu" tentang sebuah restoran enak, maka yang pertama terjadi adalah kita tertarik untuk "mengamalkan" makan di restoran enak tersebut. Setelah kita merasakan kenikmatan yang luar biasa di restoran enak tersebut, maka kita akan tertarik untuk berbagi informasi, "berdakwah" tentang restoran enak tersebut pada orang-orang terdekat kita.
Itulah dakwah, ilmu tentang sesuatu dalam Islam, yang telah kita amalkan sehingga kita merasakan kenikmatan yang amat sangat, saking nikmatnya hingga kita ingin orang-orang terdekat kita juga menikmati kenikmatan dalam amal tersebut. Ya, itulah dakwah.
Ingatlah, sabar adalah keniscayaan dalam setiap langkah keimanan kita.
وَالصَّابِرِينَ
فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 177)
Kita
tidak tahu kapan kematian akan menjemput kita. Maka kesabaran adalah
satu-satunya cara untuk memastikan akhir yang baik dari perjalanan ini.
Lebih lanjut lagi, kita bisa melihat kaitan surat al-'Ashr dengan siklus hidup muslim sebagaimana disebutkan di atas.
إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"...kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran."
Iman adalah pembungkus, dan 'amal sholeh menjadi wujud dari 2 titik pertama, ilmu dan amal. Karena amal tidak akan jadi sholeh tanpa ilmu.
Saling menasehati dalam kebenaran menjadi kata lain dari titik dakwah, sedangkan titik sabar telah diungkapkan dengan langsung, sebagai bagian dari siklus yang menjauhkan seorang muslim (manusia) dari kerugian.
Sungguh, Allah telah memuliakan al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i yang telah berkata, "seandainya al-Quran diturunkan dengan 1 surat, maka cukuplah surat al-'ashr", aw kama qoola asy-Syafi'i rahimahullah (atau kira-kira demikianlah asy-Syafi'i telah berkata).
Ilmu, amal, dakwah, dan sabar, semoga demikianlah perputaran kehidupan kita, hingga ruh berpisah dari jasad.
Wallahul-musta'an
Komentar
Posting Komentar