1. Di zaman Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, harga kuda sampai berkali-kali lipat unta. Maka Umar pun mengambil zakat dari kuda, walaupun ada hadits yang menyatakan tidak ada zakat pada kuda (Lihat Nash Ar-Rayah 1:359).
Abu Hurairah ra termasuk yang menentang zakat kuda karena adanya hadits larangan dari Rasulullah saw. Tapi zakat kuda tetap diambil di zaman Utsman ra, dan juga di zaman Marwan Al-Hakam.
2. Khalifah Umar bin Khattab juga pernah menerima surat yang menanyakan hukum ambar yang ditemukan di daerah pantai. Setelah berdiskusi dengan para sahabat, Umar memutuskan menarik zakatnya 20% (Ar-Raudh An-Nadhir 2:419). Hal yang sama diperlakukan pada mutiara dan perhiasan yang diambil dari laut, walaupun tidak ada dalil khusus terkait hal ini dari Al-Quran dan Sunnah.
3. Imam Abu Hanifa berpendapat bahwa semua jenis tanaman, yaitu yang dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan darinya, wajib zakatnya sebesar 10% atau 5% (Al-Fath jilid 2: 2-5). Bahkan disebutkan juga wajib zakat atas buah-buahan seperti jambu, persik, tin, mangga dll, baik basah ataupun kering. Demikian juga dengan sayur seperti timun, labu, semangka, wortel, lobak, kol, dll.
Dalilnya adalah keumuman firman Allah dalam Al-Baqarah: 267.
4. Imam Ahmad berpendapat bahwa semua barang tambang yang terbuat dari unsur tersendiri dan berharga dikenakan zakat (Al-Bahr Az-Zikhar 2:210). Sedangkan Imam Abu Hanifah membatasi hanya pada barang tambang yang diolah dengan api (ditempa) (Al-Mirqa, 4:149). Ini adalah ijtihad para imam, walaupun tidak ada ketentuan yang tegas dari Al Quran dan Sunnah.
5. Umar bin Abdul Azis diriwayatkan bahwa bila memberikan gaji seseorang, maka ia memungut zakatnya, demikian pula ketika ia mengembalikan barang sitaan. Ia memungut zakat dari pemberian, bila telah berada di tangan penerima (Al-Amwal: 432).
Demikianlah para Imam telah berpendapat sesuai pemahamannya atas Al-Quran dan Sunnah. Berkembangnya objek zakat di berbagai zaman tersendiri dilatarbelakangi prinsip keadilan yang merupakan bagian dari maqashid syariah. Termasuk juga karena zakat adalah ibadah yang kuat unsur muamalahnya, sehingga kuat pula sisi ijtihadiyahnya seperti penggunaan qiyas, dll.
Tentu perbedaan pendapat juga terjadi dari zaman ke zaman. Dan ini hal yang lumrah dalam bidang ijtihadiyah.
Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar