Saat itu, Musa 'alaihissalam sedang berada di salah satu titik terendahnya sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Beliau baru saja membunuh seseorang dengan tidak sengaja. Sedang menjadi buronan penguasa. Hidup tanpa rumah dan tanpa keluarga, dalam pelariannya. Hingga sampailah pelariannya di wilayah Madyan. Setelah menolong 2 orang perempuan mengambil air minum ternak, Musa 'alaihissalam pun berdoa; رَبِّ إِنِّى لِمَآ أَنزَلْتَ إِلَىَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku benar-benar membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku" (QS. Al-Qashash: 24) Tidak pakai lama, Allah pun mengabulkan doa tersebut, dengan datangnya perempuan yang ditolong sebelumnya, menyampaikan bahwa ayahnya ingin berterima kasih. Ternyata sang ayah adalah Nabi Syua'ib 'alaihissalam. Tidak tanggung-tanggung, Nabi Syu'aib 'alaihissalam menawarkan putrinya kepada Musa 'alaihissalam, sekaligus tawaran untuk bekerja padanya. Kondisi Musa 'alaih
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ لَبِسَ حِذَاءَهُ وَغَطَّى رَأْسَهُ "Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk toilet, beliau memakai sandal dan penutup kepala." [HR. Al-Baihaqi, Dhaif Jami’ as-Shaghir, no. 9874] Bagaimana perkataan para ulama? Imam An-Nawawi mengatakan, "Imamul Haramain, al-Ghazali, al-Baghawi dan ulama lainnya mengatakan, ‘Dianjurkan untuk tidak masuk tempat buang hajat dengan kepala terbuka.’ " (Al-Majmu’, 2/93) Imam Al-Mardawi juga mengatakan, "Dianjurkan untuk menutup kepala ketika buang hajat. Demikian yang disebutkan dari beberapa ulama Madzhab Hambali." (Al-Inshaf, 1/97). Walaupun haditsnya dhaif, ternyata para ulama menganjurkannya. Inilah di antara pengamalan kesempurnaan adab kepada Allah azza wa jalla.