Demokrasi adalah hal yang banyak diperbincangkan para intelektual muslim di zaman modern. Hal ini pada akhirnya berbuah perbedaan pendapat terkait hukumnya dalam sudut pandang Islam.
Yang dapat disepakati adalah; demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan (muamalah), bukan peribadatan. Sehingga, hukumnya mengikuti tabiatnya. Ini berbeda, misalnya dengan hukum menyembah kuburan, menghadiri perayaan ibadah agama lain, dll., yang terkait erat dengan peribadatan.
Mari sedikit menilik sejarah demokrasi dalam Islam.
Dikisahkah, sebelum wafat, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab RA membentuk tim kecil
yang terdiri dari enam orang sahabat yang masih hidup dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ditambah Abdullah bin Umar. Tim ini ditugaskan memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah pengganti Umar. Batas waktunya hanya tiga hari, terhitung sejak wafatnya Umar.
Tim kecil yang terdiri dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar –Radhiyallahu ‘Anhum– ini pun bersidang. Zubair memberikan suaranya kepada Ali. Sa’ad memberikan
suaranya untuk Abdurrahman bin Auf. Sedangkan Thalhah memberikan suaranya kepada Utsman. Adapun Ibnu Umar, dia tidak mempunyai hak memilih dan dipilih.
Dengan demikian calon khalifah mengerucut pada tiga orang; Utsman, Ali, dan Abdurrahman bin Auf. Tetapi, Abdurrahman mengundurkan diri, sehingga kandidat pun tersisa Utsman dan Ali. Lalu, tim bersepakat untuk menyerahkan urusan penentuan khalifah ini kepada Abdurrahman bin Auf.
Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, bahwasanya Abdurrahman bin Auf menggunakan batas waktu tiga hari secara maksimal dengan meminta masukan dari orang-orang Madinah, mana yang mereka pilih antara Utsman dan Ali. Hampir semua lapisan masyarakat ditanya; sahabat senior, para tokoh, tentara, laki-laki dan perempuan. Anak-anak yang sedang belajar di kuttab juga ikut ditanya. Bahkan, orang-orang yang baru datang ke Madinah serta orang-orang Badui juga turut diminta pendapatnya.
Tidak ada perbedaan dalam pemungutan suara yang dilakukan Abdurrahman. Semuanya sama; satu orang satu suara. Kemudian, karena mayoritas mereka memilih Utsman, maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah berdasarkan suara mayoritas.
Demikianlah sejarah menceritakan.
Asy Syaikh Yusuf al-Qaradhawy termasuk di antara ulama yang mendukung demokrasi secara subtansi. Beliau mengatakan, " Saya termasuk orang yang menuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam.."
Fataawaa’Mu’aashirah (II/650).
Dalam fatwa yang sama, asy Syaikh juga mengatakan, "...merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash muhkam (yang jelas) dan tidak juga kaidah syari’at yang sudah baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat dan menghilangkan identitas pertamanya"
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, selayaknya umat Islam dapat menempatkan dirinya secara tepat dalam sistem demokrasi, dan turut serta dalam rangka menjaga kepentingan Islam dan kaum muslimin, kepentingan dakwah serta dilakukan demi mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Yang dapat disepakati adalah; demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan (muamalah), bukan peribadatan. Sehingga, hukumnya mengikuti tabiatnya. Ini berbeda, misalnya dengan hukum menyembah kuburan, menghadiri perayaan ibadah agama lain, dll., yang terkait erat dengan peribadatan.
Mari sedikit menilik sejarah demokrasi dalam Islam.
Dikisahkah, sebelum wafat, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab RA membentuk tim kecil
yang terdiri dari enam orang sahabat yang masih hidup dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ditambah Abdullah bin Umar. Tim ini ditugaskan memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah pengganti Umar. Batas waktunya hanya tiga hari, terhitung sejak wafatnya Umar.
Tim kecil yang terdiri dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar –Radhiyallahu ‘Anhum– ini pun bersidang. Zubair memberikan suaranya kepada Ali. Sa’ad memberikan
suaranya untuk Abdurrahman bin Auf. Sedangkan Thalhah memberikan suaranya kepada Utsman. Adapun Ibnu Umar, dia tidak mempunyai hak memilih dan dipilih.
Dengan demikian calon khalifah mengerucut pada tiga orang; Utsman, Ali, dan Abdurrahman bin Auf. Tetapi, Abdurrahman mengundurkan diri, sehingga kandidat pun tersisa Utsman dan Ali. Lalu, tim bersepakat untuk menyerahkan urusan penentuan khalifah ini kepada Abdurrahman bin Auf.
Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, bahwasanya Abdurrahman bin Auf menggunakan batas waktu tiga hari secara maksimal dengan meminta masukan dari orang-orang Madinah, mana yang mereka pilih antara Utsman dan Ali. Hampir semua lapisan masyarakat ditanya; sahabat senior, para tokoh, tentara, laki-laki dan perempuan. Anak-anak yang sedang belajar di kuttab juga ikut ditanya. Bahkan, orang-orang yang baru datang ke Madinah serta orang-orang Badui juga turut diminta pendapatnya.
Tidak ada perbedaan dalam pemungutan suara yang dilakukan Abdurrahman. Semuanya sama; satu orang satu suara. Kemudian, karena mayoritas mereka memilih Utsman, maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah berdasarkan suara mayoritas.
Demikianlah sejarah menceritakan.
Asy Syaikh Yusuf al-Qaradhawy termasuk di antara ulama yang mendukung demokrasi secara subtansi. Beliau mengatakan, " Saya termasuk orang yang menuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam.."
Fataawaa’Mu’aashirah (II/650).
Dalam fatwa yang sama, asy Syaikh juga mengatakan, "...merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash muhkam (yang jelas) dan tidak juga kaidah syari’at yang sudah baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat dan menghilangkan identitas pertamanya"
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, selayaknya umat Islam dapat menempatkan dirinya secara tepat dalam sistem demokrasi, dan turut serta dalam rangka menjaga kepentingan Islam dan kaum muslimin, kepentingan dakwah serta dilakukan demi mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Komentar
Posting Komentar