2 metode besar ini sudah ada sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Yang paling terkenal adalah kisah Shalat Ashar Bani Quraizhah.
Sebagian sahabat bersikukuh pada tekstual sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tuk tidak Shalat Ashar sebelum sampai Kampung Bani Quraizhah. Walaupun akhirnya sebagian mereka melaksanakan Shalat Ashar di waktu Isya hari itu.
Sedangkan sebagian sahabat lain mencoba memahami dengan akal mereka, bahwa sabda Nabi saw adalah "kinayah" agar pasukan bergerak cepat ke kampung Bani Quraizhah, yang akhirnya mereka melanggar larangan Shalat Ashar di tengah perjalanan agar bisa tetap shalat pada waktunya.
Ketika kedua metode ini diadukan kepada Nabi saw, beliau tidak menyalahkan salah satunya. Artinya, keduanya diterima.
Akal, pada dasarnya adalah ayat-ayat kekuasaan Allah yang dianugerahkan kepada manusia. Memakai akal dengan benar untuk memahami dalil, adalah salah cara yang dilakukan para ulama fiqih dari masa ke masa.
Suatu ketika, rombongan Imam Ahmad berhaji ke Mekkah.
Selama di Mekkah, mereka berniat mengambil ilmu dari Sufyan bin Uyainah, seorang guru hadits yang masyhur di Mekkah.
Namun ternyata, saat Imam Ahmad melihat halaqah Imam Syafi'i, beliau malah tertarik dengan pembahasan Imam Syafi'i tentang kaidah-kaidah yang baru didengarnya.
Maka Imam Ahmad pun mengajak rombongannya untuk mengambil ilmu dari halaqah Imam Syafi'i.
Seorang 'alim dari rombongan Imam Ahmad menyeletuk; "Hai Abdullah! Anda meninggalkan Ibnu Uyainah untuk datang kemari?"
Imam Ahmad menjawab; "Diamlah! Jika engkau melewatkan sebuah hadits dari atasnya, maka engkau bisa mengambil dari bawahnya. Tapi jika engkau melewatkan akal (orang) ini, aku takut engkau tidak akan mendapatkannya lagi. Sungguh, aku belum pernah melihat seseorang yang lebih memahami kitab Allah melebihi pemuda ini".
(Diceritakan ulang dari Biografi 10 Imam Besar, Syaikh Hasan Al-Jamal).
Allahul musta'an
===
Bogor,
Akhir Syawal 1444
Komentar
Posting Komentar