Langsung ke konten utama

Perbedaan Pendapat Puasa Hari Arafah dan Idul Adha

FATWA DEWAN FATWA PERHIMPUNAN AL-IRSYAD NO : 001/DFPA/XI/1438

TENTANG PENENTUAN WAKTU PUASA AROFAH & IDUL ADHA


A. LATAR BELAKANG MASALAH

Melihat sering terjadinya perbedaan penentuan awal waktu Dzulhijjah antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi, yang kemudian berimbas dengan banyaknya pertanyaan ditengah masyarakat tentang kapan seharusnya puasa Arofah dan perayaan Idul Adha dikerjakan, apakah disesuaikan pada waktu jama’ah haji sedang berwukuf, ataukah dikembalikan kepada masing-masing negara, karena terdapat perbedaan waktu hilal muncul (ikhtilaful matholi’)?

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang masalah ini. 
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafii menyebutkan dua pendapat 
(lihat Fathul Baari 4/123) :

Pertama : 
Waktu puasa Arofah *disesuaikan dengan wukufnya para jama’ah haji di padang Arofah*. Pendapat ini dibangun di atas dasar tidak dianggapnya perbedaan Al-Matholi’. 
Jika ada satu negara melihat hilal maka seluruh negara yang lain mengikuti.
Ini pendapat para ulama dari kalanganAl-Hanabilah 
(Al-Kaafi 1/437, Ar-Roudhu Al-Murbi’ hal 226, AlInshoof 7/335-336) dan sebagian ulama dari kalangan Al-Malikiyah 
(lihat Asy-Syarh Al-Kabiir, AdDardiir 1/510)

Kedua : 
Waktu puasa Arofah *disesuaikan dengan ru’yah hilal bulan Dzulhijjah pada masing-masing negara*. 
Pendapat ini dibangun atas dasar i’tibaar (diperhitungkannya) ikhtilaaf (perbedaan) AlMatholi’, yaitu masing-masing negara melihat hilal di wilayah masing-masing, terutama jika jarak antara kedua negara sangat jauh (seperti antara Indonesia dengan Arab Saudi).

Ini pendapat yang dipilih oleh madzhab Asy-Syafi’i (lihat Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzzab, AnNawawi 6/273, Asna Al-Mathoolib, Zakariya Al-Anshoori 1/410, dan Fatawa Al-Fihqiyah Al-Kubro, Ibnu Hajar Al-Haitami 2/60). 
Dan ini juga pendapat sebagian ulama Malikiyah seperti Ibnu Abdil Barr. 
Bahkan beliau menyatakan hal ini adalah ijmak ulama (Al-Istidzkaar 3/283).

Setelah menimbang dengan seksama dalil-dalil yang dikemukakan kedua pendapat diatas, serta dengan pertimbangan maslahat, kami dari Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad memutuskan :

B.  *FATWA PENENTUAN WAKTU PUASA AROFAH & IDUL ADHA*

Bahwa pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini adalah penentuan puasa Arofah dan Idul Adha *berdasarkan hasil ru’yatul hilal masing-masing negara*  yang memiliki berbedaan waktu terbitnya hilal.

Dengan demikian, kaum Muslimin di Indonesia *dalam pelaksanaan puasa Arofah dan Idul Adha berpijak pada keputusan ru’yatul hilal Kementrian Agama Republik Indonesia*,  *bukan waktu jama’ah haji melaksanakan wukuf dipadang Arofah*.

Hal ini dilandasi dalil-dalil berikut :

Pertama : 
Penerapan para ulama salaf, seperti yang telah ditetapkan oleh sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.

Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Harits mengutusnya kepada Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu ke negara Syam. 
Kuraib berkata, “Aku berangkat menuju Syam, akupun telah memenuhi permintaannya. 
Lalu tibalah bulan Ramadhan, sementara aku masih berada di Syam, Aku melihat hilal pada malam Jum’at, kemudian aku tiba di Madinah pada penghujung bulan (Ramadhan). Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku sambil menyebut hilal dan berkata, ‘Kapan kalian melihat hilal? 
Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jumat.’ Ia bertanya, ‘Apakah kamu melihatnya?’ Aku menjawab, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. 
Mereka (orang-orang di Syam) berpuasa dan Mu’awiyah juga berpuasa bersama mereka.’ 
Lalu Ibnu Abbas berkata, ‘Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, dan kami masih berpuasa hingga melengkapi 30 hari atau sampai melihatnya lagi.’ 
Lalu aku bertanya, ‘Apakah tidak cukup bagi kamu dengan ru’yah
Mu’awiyah beserta puasanya?’ 
Ia menjawab, Tidak, demikianlah Rasulullah memerintahkan kami.’” 
(HR Muslim No 1087)

Dalam riwayat di atas Ibnu Abbas (yang tinggal di Madinah) tidak menganggap penglihatan
penduduk negara Syam (yaitu Mu’awiyah) terhadap hilal. 
Akan tetapi beliau bersandar kepada penglihatan hilal oleh penduduk Madinah. 
Karena jarak antara Madinah dan Syam cukup jauh yang menimbulkan perbedaan. 
Terlebih lagi Ibnu Abbas menyandarkan sikapnya terhadap perintah Rasulullah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Fatawa 25/108 menerangkan bahwa ru’yatul hilal suatu negara tidak berlaku bagi negara lain yang memiliki perbedaan waktu terbitnya hilal (ikhtilaful matholi’) : “Kita tahu dengan yakin, semenjak zaman sahabat dan tabi’in, telah terlihat hilal di sebagian negara kaum Muslimin setelah terlihat di negaralainnya (yaitu terjadi perbedaan hari dari terlihatnya hilalpen). 
Karena ini merupakan perkara biasa yang tidak tergantikan. 
Dan pasti akan sampai kabar di tengah bulan (akan perbedaan hilal mereka dengan hilal yang terlihat di hijaz-pen). 
Kalau memang wajib bagi mereka untuk mengqodo’ maka tentu mereka bersemangat untuk mencari tahumunculnya hilal di seluruh negara kaum Muslimin, sebagaimana semangat mereka untuk melihat hilal di negara mereka. 
Dan tentu pula akan banyak terjadi qodo di sebagian besar bulan Ramadhan. Hal seperti ini, kalau seandainya terjadi, tentu akan dinukilkan. 
Tatkala tidak dinukilkan (kalau mereka mengqodo) maka ini menunjukkan perkara ini tidak ada asalnya. 
Dan hadits Ibnu  Abbas menunjukkan akan hal ini.”

Kedua : 
*Patokan berpuasa Arofah di tanggal 9 Dzulhijjah*,  *bukan wukufnya para Jamaah haji di Arofah*.

Al-Khirosyi berkata : “Hari Arofah dan Asyura -sebagaimana yang disebutkan- adalah salah satu dari musim-musim ibadah. 
Jika ditinjau dari sisi puasa maka Hari Asyura’ dan Nisfu Sya’ban dan yang lainnya adalah musim ibadah yang dituntut untuk berpuasa pada musim tersebut. Musim adalah waktu yang terkait dengan suatu hukum syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan lafal “Arofah” adalah tempat wukuf, akan tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu waktu wukufnya,9 Dzulhijjah” 
(Syarh Mukhtashor Al-Kholil 2/234)

Hal ini didasarkan Atsar Riwayat Abu Dawud : Dari Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada 9 Dzulhijjah, hari ‘Aasyuroo’ (10 Muharram) dan tiga hari setiap bulan”. (HR. Abu Dawud no 2439 dan dishahihkan oleh Al-Albani, namun hadits  ini diperselihkan akan keshahihannya)

Tatkala mengomentari lafal hadits : “Orang-orang (yaitu para sahabat) berselisih tentang puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tatkala di padang Arofah)”, Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arofah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, mereka terbiasa melakukannya ketika tidak bepergian. 
Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar pada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar”   (Fathul Baari 6/268)

Padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya sekali menunaikan ibadah haji -yaitu haji wadaa’-. 
Dan pada saat Rasulullah haji, beliau tidak berpuasa di hari Arofah. 
Di sisi lain, Rasulullah dan para sahabat sudah terbiasa puasa di hari Arofah, ini berarti puasa mereka dilakukan sebelum tahun 10 Hijriyah, meskipun tidak ada Muslim yang wukuf di padang Arofah.

Ketika Rasulullah dan para sahabatnya terbiasa puasa hari Arofah ternyata tidak ada seorang Muslimpun yang wukuf di Arofah. 
Ini menunjukan bahwa penamaan puasa Arofah berkaitan *dengan waktu 9 Dzulhijjah*  dan *bukan pada tempat padang Arofah dimana para jama’ah haji sedang wukuf* di situ.

Ditambah lagi, sebelum tahun 10 Hijriyah, urutan bulan masih belum kembali sebagaimana mestinya, disebabkan orang-orang musyrik Quraisy yang mengajukan dan mengundurkan bulan-bulan Haram sesuka hati mereka. Hingga terjadi kerancuan perhitungan dan urutan bulan, terkadang mereka melaksanakan haji bukan pada bulan Dzulhijjah.

Susunan bulan hijriyah kembali normal berurutan sebagaimana mestinya pada tahun kesepuluh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya urutan zaman (waktu) telah kembali seperti sediakala, di saat pertama kali Allah menciptakan langit dan bumi”. 
(HR. Bukhari4662 dan Muslim 1679)

Ketika itu, haji dikerjakan oleh Rasulullah pada bulan haji (Dzulhijjah) dan beliau wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah. (lihat penjelasan Al-Khotthobi dalam Ma’alim As-Sunan 2/207)

Rasulullah berpuasa sesuai dengan hitungan bulan yang sebenarnya, tentu Rasulullah tidak menyesuaikan dengan wukufnya orang-orang musyrik yang berhaji di Arofah, karena mereka berhaji bukan di bulan haji sebagaimana penjelasan al-Khottobi.

Hal ini ditegaskan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, jilid 20 halaman 28, beliau menyatakan bahwa adanya perbedaan waktu kemunculan hilal (ikhtilaful matholi’) memiliki pengaruh pada waktu penentuan tanggal 9 dzulhijjah tiap-tiap wilayah. Beliau berkata : “Pendapat yang benar, semacam ini berbeda-beda, sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). 
Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Makkah, dan hari ini tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negara lain, hilal terlihat sehari sebelum Makkah, sehingga hari wukuf Arofah, menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. 
Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka.

Demikian pula sebaliknya, ketika di Makkah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Makkah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Makkah.”

Ketiga : 
Kita tahu bahwa anjuran untuk puasa Arofah berlaku bagi seluruh kaum Muslimin di belahan bumi manapun. Sejak lebih dari seribu tahun lalu, kaum Muslimin telah tersebar di berbagai penjuru dunia dan mereka belum memiliki alat komunikasi yang cepat untuk menyampaikan berita ke seluruh wilayah seperti akhir-akhir ini. 
Nah, kalaulah puasa Arofah itu harus menyesuaikan dengan saat wukufnya jamaah haji di Arofah, berarti harus ada penentuan awal bulan Dzulhijjah yang disebarluaskan ke seluruh wilayah kaum Muslimin dan menjadi patokan dalam penentuan saat wukuf di Arofah.

Pertanyaannya : Mungkinkah hal ini diterapkan sebelum ditemukannya sarana transportasi dan komunikasi yang cepat, yang bisa menyampaikan berita ke ribuan kilometer dalam hitungan kurang dari 9 hari?

Kalaulah hal ini masih mungkin untuk diketahui oleh mereka yang tinggal di jazirah Arab, maka bagaimana halnya dengan mereka yang tinggal di Afrika Utara, Andalusia, India, Persia, dan negaranegara yang terletak sangat jauh dari Kota Makkah?

Konsekuensinya, mengikuti pendapat yang mengacu kepada wihdatulmatholi’  (kesamaan munculnya hilal) berkonsekuensi hilangnya kesempatan untuk mengamalkan puasa Arofah dan puasa-puasa sunnah lainnya bagi mereka yang berada jauh dari pusat pemerintahan karena mereka akan terlambat mendapatkan berita tentang hari-hari tersebut (andaipun memang berita tersebut ada yang menyampaikan kepada mereka secara berantai); dan ini tidak selaras dengan sifat ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Nah, berangkat dari logika sederhana tersebut, penerapan pendapat ta’addudalmatholi’  (setiap negara berhak melihat hilal sendiri) adalah lebih relevan bagi kaum Muslimin sejak dahulu di manapun dan kapan pun, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang tidak mendapatkan akses informasi dan komunikasi yang memadai.

C. PENUTUP

Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad melalui Fatwa ini juga menghimbau segenap kaum Muslimin di Indonesia yang tidak memiliki udzur untuk melaksanakan puasa sunnah Arofah mengingat pahala besar yang dijanjikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 
Dan melaksanakan perayaan Idul Adha berdasarkan keputusan ru’yatul hilal Kementrian Agama Republik Indonesia.

Kami juga mendorong pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama Republik Indonesia, agar terus menyempurnakan penyelenggaraan ru’yatul hilal, karena keputusan dari hasil ru’yatul hilal tersebut akan dijadikan pijakan oleh segenap kaum Muslimin dalam beribadah.

Meski demikian, kami juga menyadari bahwa permasalahan ini adalah *permasalahan khilafiyah* diantara ulama, maka sangatlah tidak pantas untuk dijadikan ajang saling memaksakan pendapat, apalagi menuding dengan tuduhan kesalahan manhaj atau kesalahan aqidah dan sebagainya.

Semoga Allah mempersatukan kita di atas ukhuwwah Islamiyah yang selalu berusaha untuk dikoyak oleh Syaitan dan para pengikutnya. Hendaknya kita beradab dengan adab para ulama dalam permasalahan khilafiyah, dan hendaknya kita mengenal prinsip ulama salaf dalam menyikapi permasalahan khilafiyah. 
Jangan sampai kita mengaku ahlus sunnah tapi justru tidak tahu sikap ahlus sunnah dalam permasalahan khilafiyah.

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata membutukan penyempurnaan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.


Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 8 Dzulqo’dah 1438 H / 1 Agustus 2017

Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

Ketua : Dr. Firanda Andirja, Lc. MA
Sekretaris : Nizar Sa’ad Jabal, M.PdI

Anggota-anggota :
1. Dr. Syafiq Riza Basalamah, Lc. MA
2. Dr. Sofyan bin Fuad Baswedan, Lc. MA
3. Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc. MA
4. Dr. Kholid Basalamah, Lc. MA
5. Dr. Muhammad Nur Ihsan, Lc. MA
6. Dr. Roy Grafika Penatara, Lc. MA
7. Musyaffa Ad-Dariny, Lc. MA
8. Nafi’ Zainuddin BSAW, Lc. MHI
9. Dr. Erwandi Tarmizi, Lc. MA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Orang Tua Dulu Bisa Mengasuh Anak Tanpa Ilmu Parenting?

Ada banyak versi jawaban terkait hal ini. Berikut ini hanya salah satunya saja, versi pribadi. Bisa jadi sangat kontroversial. Silahkan diskip jika tidak sepakat. Atau disebarkan, jika manfaat. Mungkin, pengasuhan orang tua kita zaman dulu berhasil, tanpa ikut seminar parenting, karena kesholihan mereka. Suksesnya pengasuhan seorang anak itu karena hidayah Allah. Bukan karena keahlian orang tuanya, atau keahlian konsultan, psikolog, dsb. Jika demikian, maka cara utama tuk mengasuh anak adalah dengan mendekat ke Sang Pemilik Hidayah. Menjadi orang tua sholih. Sholih bukan hanya terbatas rajin sholat, rajin sedekah, rajin ke masjid dll. Tapi sholih yang utama juga termasuk ibadah hati berupa tulus ikhlas, syukur, dan sabar. Mungkin orang tua kita zaman dulu tidak banyak jumlah ngaji dan sholatnya. Tapi bisa jadi setiap kalinya dilakukan dengan hati penuh ikhlas, syukur, dan sabar. Maka itulah penyebab datangnya hidayah Allah, dalam pertumbuhan anak-anak mereka. Atau juga mung

Bahaya Hidup Sederhana bagi Anak?

Menurut Psikolog David J Bredehoft PhD, anak yang tidak terdidik hidup sederhana akan mengakibatkan, di antaranya; 1. Selalu ingin hadiah segera 2. Tidak mampu mengendalikan diri 3. Makan berlebihan 4. Tidak bertanggung jawab 5. Tidak paham apa itu "cukup", dll. Dalam islam sendiri, ajaran hidup sederhana erat kaitannya dengan pembentukan karakter syukur. Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia juga tidak akan mensyukuri yang banyak.  [HR. Ahmad, 4/278] Anak yang tidak bisa mensyukuri makan nasi tempe tahu, akan sulit mensyukuri makanan yang lebih mewah daripada itu. Anak yang tidak bisa mensyukuri jatah gadget 15 menit sehari, akan sulit bersyukur dikasih jatah gadget berapa lama pun. Anak yang tidak bisa mensyukuri liburan murah meriah, akan sulit bersyukur ketika diajak liburan mewah. Akhirnya anak tidak tahu apa itu cukup, dan sulit bahagia kecuali level rewardnya dinaikkan terus. Dalam mendidik kesederhanaan, orang tua harus menjadi teladan.

Doa Menolak Wabah Penyakit

اللهم إن هذا المرض جند من جنودك Allahumma inna hadzal marodho jundun min junuudika تصيب به من تشاء وتصرفه عمن تشاء Tushiibu bihi man tasyaaa', wa tashrifuhu 'an man tasyaaa' اللهم فاصرفه عناوعن بيوتنا وعن والدينا وازواجنا واهلنا وبلادنا وبلادالمسلمين و كل بلاد Allahumma fashrifhu 'annaa wa 'an buyuutinaa wa 'an waalidiinaa wa azwajinaa wa ahlinaa wa bilaadinaa wa bilaadil muslimiin wa kulli bilaad وحفظها مما نحافه ونحذر Wahfazhnaa mimmaa nakhoofuhu wa nahdzar فانت خير حافظ وانت ارحم الراحمين Fa Anta khoirun haafizho Wa Anta arhamur raahimiin Ya Allah, sesungguhnya penyakit ini adalah salah satu tentaramu Engkau timpakan kepada siapa saja yang Engkau kehendaki, dan Engkau hindarkan darinya siapa saja yang Engkau kehendaki Ya Allah, hindarkanlah penyakit ini dari kami, dari rumah-rumah kami, hindarkan dari orang tua kami, pasangan-pasangan kami, keluarga kami, dari negeri kami dan negeri kaum muslimin dan dari seluruh negeri. Dan lindungilah kami d