Langsung ke konten utama

Berlindung di Balik Mantra "Semua Anak itu Unik"

 

Betul, semua anak itu unik. Punya kelebihan masing-masing, dan punya kecenderungan dan potensi yang berbeda-beda. Tapi perlu juga hati-hati dalam menyikapi sampai di mana batas keunikan yang dimaksud.

Contoh pada gambar di atas adalah ilustrasi yang agak kebablasan. Keunikan anak-anak dalam pendidikan diimajinasikan dengan keunikan antara satu hewan dengan satu hewan lainnya. Tentu saja ikan tidak bisa dipaksa memanjat pohon, demikian juga gajah. Tapi, anak-anak kita adalah manusia semuanya. Bukan spesies yang berbeda-beda.

Keunikan, atau perbedaan anak-anak, dalam skill yang sifatnya mubah, masih bisa ditolerir. Tapi ada skill yang sifatnya wajib, yang selayaknya sebagai manusia harus dimiliki semua anak. Paling sederhana dalam masalah adab, misalnya. Tidak bisa seorang ibu merasa keunikan salah satu anaknya adalah “Dia sih tidak bisa disuruh-suruh sama orang tuanya”. Atau seorang anak yang sulit dinasihati gurunya, dianggap punya keunikan tersendiri.

Masalahnya semakin runyam, ketika menghadapi “keunikan” anak dalam hal adab, maka orang tua dan gurunyalah yang dituntut untuk “jungkir balik” dalam mendidik. Guru dan orang tua jadi selalu dituntut menyesuaikan diri dengan anak. Padahal, adab aslinya, anaklah yang perlu menyesuaikan diri dengan orang tua dan gurunya.

Aisyah radhiallahu ‘anha pernah bercerita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah “terpaksa” bersikap lemah lembut kepada seseorang, karena khawatir akan keburukannya (HR. Bukhari no.6131). Dari hadits ini, ada sebuah hikmah yang beredar di masyarakat Arab;

“Jika orang tuamu berkata lemah lembut di hadapanmu karena takut akan kemarahanmu, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya engkau anak durhaka”.

Sekali lagi, perbedaan dalam skill yang mubah itu sangat wajar. Tapi jangan sampai ditolerir berlebihan sehingga meluas pada apa-apa sifatnya mendasar seperti skill patuh pada orang tua, skill hormat kepada guru, atau skill bangun Subuh awal waktu misalnya. Anak akan tumbuh menjadi manja dan lemah, jika kekurangan-kekurangannya dalam social skill yang mendasar, malah dianggap keunikan.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahaya Hidup Sederhana bagi Anak?

Menurut Psikolog David J Bredehoft PhD, anak yang tidak terdidik hidup sederhana akan mengakibatkan, di antaranya; 1. Selalu ingin hadiah segera 2. Tidak mampu mengendalikan diri 3. Makan berlebihan 4. Tidak bertanggung jawab 5. Tidak paham apa itu "cukup", dll. Dalam islam sendiri, ajaran hidup sederhana erat kaitannya dengan pembentukan karakter syukur. Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia juga tidak akan mensyukuri yang banyak.  [HR. Ahmad, 4/278] Anak yang tidak bisa mensyukuri makan nasi tempe tahu, akan sulit mensyukuri makanan yang lebih mewah daripada itu. Anak yang tidak bisa mensyukuri jatah gadget 15 menit sehari, akan sulit bersyukur dikasih jatah gadget berapa lama pun. Anak yang tidak bisa mensyukuri liburan murah meriah, akan sulit bersyukur ketika diajak liburan mewah. Akhirnya anak tidak tahu apa itu cukup, dan sulit bahagia kecuali level rewardnya dinaikkan terus. Dalam mendidik kesederhanaan, orang tua harus menjadi teladan.

Persamaan Umar bin Khattab dan Anak-Anak Kita

Dalam Hadits Imam Ad-Darimi no. 436, dikisahkan bahwa; Suatu ketika Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ia dalam kondisi bersemangat karena mendapatkan salinan Taurat. Namun Nabi justru menampakkan wajah tidak senang, bahkan Umar ditegur dengan keras. Apa persamaannya dengan anak-anak kita sekarang? Sama-sama tidak dianjurkan membaca sembarang sumber, sebelum iman tertanam kuat di dalam jiwa. Betul, anak-anak kita sekolahnya di islam terpadu, ngaji di sekolah setiap hari. Pun ditegakkan aturan menutup aurat selalu. Tapi juga rajin menyerap tontonan artis korea yang tampak glowing dengan busana terbuka, kata-kata kasar di postingan viral, juga bermain game yang padat konten pembunuhan dan pakaian seksi. Jika seorang sekelas Umar yang masih halaqoh langsung dengan sang Nabi saja masih dilarang dulu baca-baca Taurat sembarangan. Apakah seorang anak diperbolehkan "baca-baca" gadget sembarangan hanya karena sudah sek

Kok Orang Tua Dulu Ga Belajar Parenting?

Orang tua sekarang harus belajar bagaimana bersikap ke anak, cara berbicara ke anak. Orang tua ga boleh marah ke anak, ga boleh banyak nyuruh, tapi harus paham kejiwaan anak. Orang tua juga harus paham perkembangan otak anak. Cara parenting ke anak usia 7 tahun beda dengan yang 12 tahun. Nanti kalau anak remaja beda lagi caranya. Jadi orang tua harus paham adab dan tata cara berinteraksi dengan anak. Apakah anak juga belajar "childrening"? Belajar gimana cara bersikap dan berbicara kepada orang tua? Atau qoulan karima kalau kata Al-Quran... Gimana adab ketika ditegur orang tua, dan sikap ketika orang tua menyuruh sesuatu? Kenapa anak ga belajar "childrening"? Karena anak fokus belajar akademik agar pintar. Rajin les dan ekskul agar berprestasi. Biar masa depan sukses, pekerjaan bergengsi, hidupnya mapan. Sedangkan orang tuanya harus rajin parenting, biar ga berbuat salah sama anak... Lalu, kenapa banyak orang tua dulu ga belajar parenting tapi anak-anak