Jawabannya adalah dakwah orang tua kepada anaknya. Alias parenting.
Parenting dalam konteks dakwah adalah basic dakwah yang dicontohkan para Nabi ‘alaihimusshalatu wassalam. Mereka memulai dari anak-anak mereka, dari keluarga mereka.
Parenting adalah kewajiban dakwah yang paling asasi, yang disematkan di pundak seluruh kepala keluarga oleh Allah azza wa jalla; “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim:6).
Maka para dai, tidak boleh meremehkan hal ini, atau menganggap dakwah di luar rumah lebih penting, sehingga mengabaikan dakwah di dalam rumah, yang sejatinya, merupakan kewajiban basic-nya.
Kewajiban basic ini tidak hilang karena anak dititipkan ke sekolah islam atau pondok. Orang tua tetap murabbi pertama dan utama, yang harus peduli dan mengevaluasi indikator capaian anak-anaknya, khusunya al-fahmu mereka, agar mereka siap di medan maratibul amal di masanya.
Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Banna rahimahullah telah memberi pesan bahwa agar Islam menjadi ustadziyatul 'alam (soko guru peradaban), perlu didahului dengan takwin baitul muslim. Maka para dai yang memimpikan kebangkitan islam, selayaknya memperhatikan benar-benar regenerasi dakwah di dalam rumah tangganya. Irsyadul mujtama’ dan ishlahul hukumah tidak akan tercapai kalau tidak didukung oleh keberadaan keluarga-keluarga daiyah yang mumpuni.
Bagaimana seorang dai akan menyuarakan agar umat memenuhi masjid di waktu subuh, sedangkan anaknya sendiri subuh bermalas-malasan. Bagaimana seorang dai akan merekrut umat ke dalam pembinaan dan halaqah takwin, sedangkan anaknya sendiri tidak bisa dipahamkan pentingnya hal tersebut.
Tapi, bukankah ada contoh Nabi Nuh ‘alaihisshalatu wassalam yang juga tidak berhasil mengajak anaknya?
Pertama, Nabi Nuh terfakta berhasil, mengajak 3 anaknya menjadi penerus dakwah. Sedangkan yang menolak hanya 1. Jadi keberhasilannya 75%.
Kedua, mengapa kita berlindung di balik contoh yang gagal? Bukankah kita adalah penerus risalah Nabi terakhir, Muhammad Al-Musthofa shallallahu ‘alaihi wasallam? Dan beliau berhasil mengajak istri-istrinya, seluruh anaknya, bahkan sepupunya, juga cucu-cucunya, sebagai penerus dakwah.
Semoga Allah melembutkan hati para dai, untuk bersabar dan fokus, mendakwahi keluarga, bersabar meniti tahapan-tahapan menuju kebangkitan Islam, menunaikan kewajiban asasinya dan tidak melewatkannya.
Komentar
Posting Komentar