Ulama berbeda pendapat terkait boleh tidaknya Zakat Fithri dengan uang.
Pendapat yang Membolehkan
Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah, seorang imam dalam Madzhab Hanafi mengatakan:
ثمَّ اعْلَم أَن الأَصْل فِي هَذَا الْبَاب أَن دفع الْقيمَة فِي الزَّكَاة جَائِز عندنَا، وَكَذَا فِي الْكَفَّارَة وَصدقَة الْفطر وَالْعشر وَالْخَرَاج وَالنّذر
"Kemudian, ketahuilah pada dasarnya dalam masalah ini membayarkan harga dalam zakat adalah boleh menurut kami, begitu pula dalam membayar kaffarah, zakat fitri, al ‘asyr (kaffarat sumpah dengan memberikan makanan 10 orang faqir miskin, pen), pajak tanah, dan nadzar."
(‘Umdatul Qari, 9/8)
Imam Al ‘Aini juga menyebutkan perkataan banyak ulama yang membolehkan seperti Sufyan Ats Tsauri, Asyhab, Ath Thurthusi, Ibnu Habib, Al Bukhari, dan beliau pun juga menyebutkan pihak yang melarang seperti Asy Syafi’i dan Malik, lalu akhirnya menguatkan pendapat kebolehan membayar zakat dengan uang sebagai pendapat yang lebih kuat. (Ibid)
Ini juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Umar bin Abdil Aziz.
(Al Mughni, 3/65)
Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada gubernur Bashrah agar mengambil zakat kepada pegawainya sebesar setengah dirham.
(Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3/174)
Al Hasan mengatakan: Tidak apa-apa membayar zakat fitri dengan dirham. (Ibid)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
وجوز أبو حنيفة إخراج القيمة سواء قدر على العين أم لم يقدر، فإن الزكاة حق الفقير، ولا فرق بين القيمة والعين عنده
"Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan harganya, sama saja apakah sama dengan bendanya atau tidak, karena zakat adakah hak faqir, maka menurutnya tidak ada bedanya antara harganya atau zatnya."
(Fiqhus Sunnah, 1/413)
"Pendapat kalangan Hanafiyah adalah bolehnya membayarkan harga dari zakat fitri, bahkan itu lebih utama, agar faqir miskin lebih mudah membeli apa yang dia inginkan di hari raya, sebab dia tidak lagi membutuhkan gandum, tetapi yang dia butuhkan adalah pakaian, atau daging, atau lainnya. Memberikannya gandum, akan menyulitkannya yang dengannya dia mesti berkeliling pasar untuk menjual kepada orang yang mau membelinya, sekalipun terjual dia menjualnya dengan harga rendah dari harga sebenarnya, semua ini jika dalam keadaan mudah dan gandum banyak ditemukan di pasar. Ada pun jika dalam keadaan sulit, ketersediaan gandum begitu sedikit di pasar-pasar, maka membayarkan zakat fitri dengan makanan adalah lebih utama dibanding dengan harganya, dalam rangka menjaga maslahat orang faqir."
(Al Mausu’ah, 23/344-345)
Pendapat yang Melarang
Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa zakat fithri wajib dibayarkan dengan makanan bukan harganya (uang).
Imam Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.”
(Al-Mudawwanah Syahnun)
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.”
(Ad-Din Al-Khash)
Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.”
(Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)
Demikianlah pendapat para Imam Ahlus Sunnah dalam masalah ini.
Ada juga pendapat lain terkait hal ini, yaitu muzakki membayarkan zakat fithri dengan uang, lalu amil membeli makanan pokok untuk disalurkan kepada mustahik.
Saya pribadi lebih setuju menyalurkan zakat fithri dalam bentuk makanan, khususnya di daerah perkotaan, karena gaya hidup fakir miskin perkotaan yang terkadang jauh dari kesederhanaan. Sehingga bila diberikan uang, bisa saja dibelanjakan untuk pulsa, rokok, atau jajanan lain yang di luar kebutuhan pokok mereka.
Apapun pendapat yang kita ambil, hendaknya kita sebagai umat Islam berlapang dada dalam perbedaan pendapat ini.
Qatadah (seorang tabi’in) berkata,
ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﻌْﺮَﻑِ ﺍﻟِﺎﺧْﺘِﻠَﺎﻑَ ﻟَﻢْ ﻳَﺸُﻢَّ ﺭَﺍﺋِﺤَﺔَ ﺍﻟْﻔِﻘْﻪِ ﺑِﺄَﻧْﻔِﻪِ
”Orang yang belum mengetahui perbedaan (pendapat ulama), berarti hidungnya belum mencium baunya ilmu fiqih “.
(Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815)
Wallahu a`lam
Komentar
Posting Komentar